Indonesia juga bisa memanfaatkan jaringan diaspora dan organisasi Islam internasional untuk membangun tekanan moral agar semua pihak kembali ke meja perundingan.
Dunia Islam saat ini tengah menunggu kepemimpinan yang nyata, bukan sekadar retorika kosong. Mereka butuh negara yang mampu berbicara dengan otoritas moral sekaligus memiliki kapasitas diplomatik untuk mewujudkan perubahan nyata. Indonesia, dengan segala modal yang dimiliki, berada dalam posisi ideal untuk mengisi kekosongan kepemimpinan ini.
Pertanyaan krusialnya sederhana: apakah kita siap kembali memimpin seperti saat Konferensi Asia-Afrika di Bandung 1955, ketika Indonesia berhasil mengubah peta diplomasi dunia? Ataukah kita akan memilih aman di zona nyaman, membiarkan sejarah ditulis tanpa kontribusi berarti dari kita?
Kesempatan ini tidak akan datang dua kali. Di tengah konflik yang terus membara, hanya negara dengan kombinasi unik seperti Indonesia, populasi muslim terbesar, warisan diplomasi yang gemilang, dan jaringan lintas blok yang kuat, yang mampu menjawab panggilan sejarah ini. Dunia menunggu, dan waktu terus berjalan.***
Penulis adalah Ketua DPP Partai Golkar dan Guru Besar Hubungan Internasional Busan University of Foreign Studies (BUFS) Korea Selatan