Presiden menyebut langsung: narasi itu rekayasa. Dibiayai. Disusun oleh mereka yang ingin negeri ini terus gaduh, terus gagal, agar sistem korup yang mereka warisi tetap lestari. Di tengah itulah, Prabowo menegaskan: rakyat butuh pejuang politik, bukan komentator viral. Butuh orang-orang yang mau difitnah, diteriaki, bahkan dijatuhkan, tetapi tetap berdiri membela kebenaran dan rakyat kecil.
Hari itu, Prabowo tak sekadar berbicara tentang PSI, kabinet, atau partai. Ia berbicara tentang Indonesia yang ia cintai: Indonesia yang setia seperti sejarah, tenang seperti gajah, dan kuat seperti tanah yang dipijak petani.
PSI lama telah dibungkam lebih dari enam dekade lalu. Tapi semangatnya hidup kembali, di tubuh generasi baru yang menolak menyerah pada sinisme zaman. Dan ketika Prabowo menyambutnya dengan haru dan hormat, kita tahu: estafet sejarah itu belum pernah putus.
Gajah, PSI, dan Indonesia kita, semuanya butuh arah yang jelas, bukan gaduh tak bermakna. Butuh pemimpin sejati, bukan pengamat yang berlindung di balik layar. Butuh cinta mendalam, bukan kebencian yang meracuni.
Prabowo sudah memberi teladan. PSI sudah memberi isyarat. Sekarang giliran kita melanjutkan langkah ini, dengan tenang, pasti, dan setia.***
Oleh : Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si Adalah Guru Besar Hubungan Internasional, Busan University of Foreign Studies (BUFS), Korea Selatan