Kendati apa yang dikatakan Nabi Ibrahim berbeda dengan yang diinginkan penanya, tetapi sesungguhnya beliau ingin menunjukkan kepada mereka bahwa berhala yang selama ini disembah tak bisa apa-apa. Buktinya, begitu berhala besar dituding sebagai penghancur berhala kecil di sekitarnya, mereka pun tak percaya. Di situlah Nabi Ibrahim ingin menunjukkan kebodohan mereka.
Dijelaskan oleh al-Qusthulani, meski Nabi Ibrahim mengaku sebenarnya bahwa pada hakikatnya yang menghancurkan berhala itu adalah Allah, mereka juga tak mungkin percaya, sebab mereka adalah kaum yang kufur.
Karenanya, ketika tindak penghancuran itu disandarkan kepada berhala besar, bukanlah sebuah kebohongan, melainkan sebagai ejekan guna memperlihatkan kedangkalan dan kesesatan pikiran mereka. Walau sekilas terlihat seperti berbohong hanyalah di mata orang-orang yang kufur.
Hadirin rahimakumullah
Ketiga, siasat Nabi Ibrahim kepada utusan Raja Shaduq yang menginginkan istrinya yang cantik Sarah. Beliau mengaku, “Dia adalah saudara perempuanku.” Tujuannya agar dirinya selamat dari kekejaman si raja.
Sebelumnya, Nabi Ibrahim menyampaikan kepada istrinya, “Wahai Sarah, tidak ada lagi yang beriman di muka bumi selain aku dan engkau". Sehingga, ketika sang raja bertanya kepadaku tentangmu, “Siapakah wanita itu?” aku menjawab, “Dia adalah saudara perempuanku. Aku berharap engkau pun tidak mendustaiku.” Walhasil, yang dimaksud “saudara” di sana adalah saudara seakidah atau saudara seagama karena memang tidak ada orang yang beriman di muka bumi saat itu kecuali mereka berdua.
Adapun ungkapan "Aku sakit" merupakan rasa sakit batin melihat kemusyrikan dan kekufuran kaumnya. Ia juga menyadari bahwa ungkapan "Patung yang besar itu yang menghancurkannya" adalah siasat untuk menunjukkan kebodohan mereka.
Pada akhirnya, beliau akan meminta maaf kepada umat manusia di hari kiamat karena tidak dapat memberikan syafaat atau bantuan kepada mereka untuk diadili oleh Allah. Ia mengaku ketiganya sebagai kebohongan yang pernah diperbuatnya. (Lihat: Umar Sulaiman, Shahîh al-Qashash al-Nabawi, Darun Nafais, 2007, hal. 53).
Namun perlu ditekankan bahwa pengakuan tersebut tidak berarti beliau itu berbohong, karena seorang nabi tidak mungkin berbohong. Tindakan tersebut hanyalah siasat untuk memperjuangkan agama Allah, menegakkan tauhid, membuktikan kesesatan kaumnya, dan menjaga keselamatan diri.
Adapun pengakuannya pada hari Kiamat, “Aku telah berbuat tiga kebohongan,” semata lahir dari kerendahan hati, kepasrahan sebagai hamba, dan ketakutannya yang sangat besar terhadap murka Allah.
Sebab, di mata syariat sendiri dan juga di mata Allah, ketiganya bukanlah sebagai kekeliruan. Hal itu telah ditegaskan sendiri oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya.
مَا مِنْهَا كَذِبَةٌ إِلاَّ مَا حَلَّ بِهَا عَنْ دِينِ اللَّهِ
Artinya, “Tidak satu pun di antara kebohongan itu kecuali demi membela agama Allah,” (HR. al-Tirmidzi [3148]).
Demikianlah strategi menarik, sekaligus siasat unik yang dijalankan Nabi Ibrahim demi memperjuangkan agama Allah, menunjukkan kesesatan kaumnya, dan memperjuangkan keselamatan dirinya.
Adapun pelajaran penting yang dapat kita petik darinya adalah tatkala tiga muslihat yang dibenarkan syariat saja diakui Nabi Ibrahim (dengan kerendahan dan ketakutannya) sebagai kebohongan, lantas bagaimana dengan kebohongan murni yang sengaja diproduksi dan disebarkan demi kepentingan pribadi dan golongan yang sama sekali tak dibenarkan oleh kaca mata apa pun?
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa mengambil pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi, termasuk peristiwa yang pernah menimpa para nabi.