Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi Muhammad saw bersabda:
مَنْ قَتَلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فَحَدِيدَتُهُ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِهَا بَطْنَهُ يَهْوِي فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا، وَمَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ مُتَعَمِّدًا فَقَتَلَ نَفْسَهُ فَهُوَ مُتَرَدٍّ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أَبَدًا
Artinya, “Siapa saja bunuh diri dengan (menusuk dirinya dengan) besi, maka besi itu akan ada di tangannya. Dengannya, ia akan menghujamkan ke perutnya di neraka jahanam. Ia kekal dan abadi di dalamnya selama-lamanya.
Siapa saja yang menjatuhkan diri dari gunung dengan sengaja hingga membunuh jiwanya (bunuh diri), maka ia akan jatuh ke neraka jahanam, ia kekal serta abadi di dalamnya selama-lamanya.”
Walhasil, kegagalan dalam kontestasi pemilu tidak boleh menjadi alasan bagi caleg untuk melakukan bunuh diri. Sebab, bunuh diri sama sekali tidak dibenarkan bahkan menjadi dosa besar menurut agama Islam.
Kekecewaan dalam setiap kekalahan merupakan sifat setiap manusia. Siapa saja pasti kecewa jika harapan dan keinginannya tidak sesuai dengan kenyataan, namun sebisa mungkin, kekecewaan tersebut tidak sampai membawa pada bunuh diri.
Lantas, bagaimana caranya agar kekecewaan meronta-ronta dalam jiwa setiap manusia?
Cara agar kekecewaan tidak merajalela setelah kekalahan adalah menyadari betul bahwa setiap sesuatu yang terjadi merupakan hal terbaik dari Allah, sekalipun tidak sesuai dengan harapan dan keinginan setiap manusia. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an, Allah swt berfirman:
وَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئاً وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسَى أَن تُحِبُّواْ شَيْئاً وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya, “Maka boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS Al-Baqarah: 216).
Berkaitan dengan hal ini, Syekh Ibnu Ajibah mengibaratkan manusia seperti anak kecil yang masih sangat polos dan tidak tahu apa-apa. Ia menangis karena ingin memakan manisan atau permen di dalamnya.
Berkali-kali orang tuanya tidak memberikan permen sang anak, karena ia sadar bahwa permen tidak baik untuknya,:
فَكُلَّمَا بَطَشَ الصَّبِي لِذَلِكَ الطَّعَامِ رَدَّهُ أَبُوْهُ فَالصَّبِي يَبْكِيْ عَلَيْهِ لِعَدَمِ عِلْمِهِ وَأَبُوْهُ يَرُدُّهُ بِالْقَهْرِ لِوُجُوْدِ عِلْمِهِ
Artinya, “Maka ketika si anak mengambil makanan (yang di dalamnya terdapat racun), sang ayah menolaknya, anaknya menangis karena tidak tahu (di dalamnya terdapat racun), sedangkan ayahnya menolaknya dengan paksa karena ia tahu ada apa di dalamnya.” (Ibnu Ajibah, Iqadul Himam Syarah Matnul Hikam, [2000], halaman 100). Begitulah gambaran hubungan manusia dengan Allah dalam konsep “pemberian”.
Bisa jadi, dalam hal yang diinginkan oleh manusia, ada bahaya luarb biasa yang tidak diketahuinya. Karenanya, Allah tidak memberikan keinginan tersebut untuk menjaganya agar tidak terjerumus bahaya yang tidak diketahuinya.