pemerintahan

Curhat Gubernur Sulteng ke Komisi II: Smelter Nyumbang Triliunan, Daerah Cuma Kebagian Miliaran

Selasa, 29 April 2025 | 20:36 WIB
Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, hadir dalam RPD di Komisi II DPR RI pada Selasa 28 April 2025. Para Gubernur diundang dalam RDP tersebut. (Foto: IST).

METRO SULTENG – Di hadapan Komisi II DPR RI, Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, secara blak-blakan mengungkap ketimpangan Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima daerahnya.

Momen Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang menghadirkan para gubernur bersama Komisi II DPR RI di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa 29 April 2025, dimanfaatkan Anwar Hafid untuk menyampaikan uneg-unegnya.

Dalam forum yang dihadiri Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Ribka Haluk dan dipimpin langsung Ketua Komisi II Rifqinizamy Karsayuda, ia menumpahkan kegelisahan yang selama ini dirasakan masyarakat Sulawesi Tengah terhadap ketidakadilan distribusi hasil kekayaan alam.

Baca Juga: Calon Pejabat Pemprov Sulteng Tes Wawancara, Gubernur dan Wagub Turun Tangan

Meskipun Sulawesi Tengah menjadi salah satu kontributor terbesar bagi penerimaan negara dari sektor tambang, termasuk industri smelter, tapi penerimaan DBH masih jauh dari harapan.

Anwar Hafid mengungkapkan, kondisi daerahnya saat ini sudah “hancur-hancuran” akibat aktivitas pertambangan yang masif, Tapi apa, itu tak memberi dampak signifikan bagi pendapatan daerah.

“Saya contohkan Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah itu adalah salah satu provinsi penyumbang devisa terbesar di Indonesia ini. Bapak Presiden bilang ada Rp570 triliun dari pajak yang bersumber dari industri smelter yang ada di Sulawesi Tengah. Tapi coba bapak bayangkan setiap tahun DBH kami hanya mendapatkan Rp200 miliar. Negeri kami itu hancur-hancuran, Pak. Tambang di mana-mana, hancur-hancuran, Pak, negeri kami itu,” ungkap Anwar penuh emosi di hadapan Komisi II.

Baca Juga: Gubernur Sulteng Anwar Hafid: Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan Jadi Harga Mati Buat Pelaku Industri

Ia juga menyoroti kelemahan sistem perpajakan yang hanya mengenakan pajak di “mulut tambang”, bukan di “mulut industri”. Seperti halnya di wilayah-wilayah lain yang telah mengadopsi izin usaha pertambangan pemurnian.

Menurutnya, jika pajak dikenakan saat produk nikel telah menjadi stainless steel, maka nilai ekonomis dan PAD Sulawesi Tengah bisa bersaing dengan provinsi-provinsi kaya seperti DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Tak hanya itu, Anwar menyoroti kebijakan tax holiday dan tax allowance, yang diberikan kepada perusahaan industri smelter hingga 25 tahun.

Sementara cadangan nikel di Morowali, katanya, hanya tinggal 10 tahun. Ia khawatir kondisi pasca-ekspolitasi nikel, ketika semua keuntungan telah diraup, wilayahnya ditinggalkan tanpa hasil berarti.

Baca Juga: Prihatin Dampak Banjir Palu, Abdul Rachman Thaha: BPK RI Perlu Audit Investigatif Pertambangan

Anwar juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap kooperasi industri nikel di Sulawesi Tengah.

“Kemarin saya paksa, Pak. Tapi takutnya nanti dilaporin lagi saya ke pusat. Saya bilang kalau kalian tidak mau membuka perwakilan di Sulawesi Tengah, silakan angkat kaki. Tapi mereka semua sekarang bilang, Gubernur apa-apa sih, biar marah juga nggak ada masalah. Kita nggak ketemu juga, nggak ada juga keperluan kita sama Gubernur,” tambah Anwar dengan nada kecewa.

Halaman:

Tags

Terkini