METRO SULTENG-Dari hasil survei tinja penduduk program penyakit demam keong atau Chistosomiasis tahun 2022, diperoleh data bahwa ada sebanyak 245 orang warga Kabupaten Poso, Sulteng, yang dinyatakan positif telah tertular Schistosomiasis, melonjak tajam dari 45 orang pada tahun 2019.
Dari hasil penelusuran, belakangan baru diketahui, hal tersebut disebabkan stok obat Praziquntel yang disediakan oleh WHO memang kosong.
Sehingga untuk melakukan penanganan terhadap penderita Schistosomiasis, pihak Puskesmas hanya melakukan pengobatan simptomatik berdasarkan gejala yang timbul atau dirasakan oleh pasien tanpa fokus pada pengobatan Schistosomiasis.
Baca Juga: Penyakit Demam Keong Landa Sulteng, 256 Orang Telah Terpapar, Ini Pemicunya
Padahal selama ini para penderita Schistosomiasis dengan pengobatan teratur menggunakan obat Praziquantel ini, berhasil memperoleh kesembuhan.
Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Poso dr. Taufan Karwur saat dikonfirmasi membenarkan soal meningkatnya angka penderita Schistosomiasis tahun 2022, jika dibandingkan pada tahun 2019 silam yang hanya ada 45 penderita.
“Penanganan maupun pengendalian Schistosomiasis di Poso memang agak terkendala saat pandemi Covid-19, sehingga terjadi peningkatan jumlah positif Schistosomiasis,” sebutnya belum lama ini.
Disinggung soal tidak adanya stok obat jenis Praziquantel, yang saat ini sangat dibutuhkan oleh ratusan warga penderita Schistosomiasis.
Baca Juga: Begini Strategi Bupati Morowali Dalam Memajukan Daerahnya
“Sebenarnya obat ini kata dia sudah masuk di Indonesia, hanya saja masih terkendala administrasi kepabeanan di Jakarta. Hal ini jadi salah satu penyebab sehingga sampai saat ini obatnya belum diterima,” ungkap Taufan.
Namun demikian dirinya mengaku optimis obat Praziquantel yang dinanti akan segera tiba di Kabupaten Poso, melalui upaya komunikasi secara berjenjang hingga ke pihak pemerintah pusat.
Ia mengimbau masyarakat, khususnya yang berada di dalam wilayah yang diketahui lokasi berkembangnya keong penyebar Schistosomiasis agar menggunakab Alat Pelindung Diri (APD) terutama dikaki saat turun beraktifitas di kebun yang kondisi tanahnya basah atau lembab.
“Gunakan sepatu karet (jenggel), saat berkebun agar larva pembawa bibit Schistosomiasis tidak masuk melalui pori-pori kaki,” ucap Taufan seraya menambahkan, jangan biarkan ada lahan tidur, terlebih yang berawah agar segera dikeringkan dan menjadi lahan tanam. Hal ini dimaksudkan agar tidak ada tempat keong berkembang sekaligus memutus mata rantai penularan.
Taufan juga berharap ada sinergisitas dari lintas OPD terkait seperti Dinas PUPR baik Provinsi/Kabupaten, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa termasuk stakeholder lainnya agar upaya penanganan Schistosomiasis melalui program kerjanya benar-benar di lokasi yang tepat.***