Padahal, di tempat yang sama, masih banyak anak dari keluarga terpinggirkan masih berjibaku dalam urusan putus sekolah, stunting, kurang gizi dan lapangan kerja.
Segala sumber daya alam strategis menjadi santapan oligarki ekonomi yang menghasilkan kekayaan turun temurun dari generasi ke generasi. Konsentrasi kekayaan berbasis rente sumber daya alam terus meningkat. Praktik ini oleh Piketty ia sebut sebagai kapitalisme patrimonial.
Sialnya lagi, di tengah problem monopoli itu, muncul lagi kelas rentier yang hidup dari deviden saham dan rente sumber daya alam. Sementara mayoritas penduduk justru bergantung pada upah rendah setiap harinya.
Keluar dari Jebakan Semu
Dari ketidaksesuaian laporan pertumbuhan ekonomi dan realitas sosial di Masyarakat, setidaknya kita bisa bertemu pada kesepahaman bahwa nilai lebih dari produksi hilirisasi di Sulteng hanya dinikmati segelintir elit di pusat.
Ini ironi. Di tengah produksi massal kendaraan listrik mulai dikerjakan, kita masih meminta belas kasih sisa dana bagi hasil pertambangan. Sungguh, tak ada yang bisa dipercaya dari _Trickle Down Effect_ semacam itu.
Di sini, tempat sumber daya dikeruk, kita juga diperhadapkan pada tantangan serius. Di mana warisan dan koneksi politik bisa memainkan peran besar dalam memproduksi kekayaan lebih cepat. Ini yang paling mencolok di depan mata.
Demokrasi jadi celah mengembangbiakkan kronisme dan nepotisme. Parahnya, itu dipraktikan oleh kaum terdidik.
Baca Juga: Sawit Jadi Salah Satu Penggerak Ekonomi Sulteng meski Hadapi Banyak Tantangan
Etika politik diabaikan, meski itu tidak lahir dari kesepakatan formil. Seyogianya etika justru menuntut standar lebih tinggi dari hukum itu sendiri. Praktik nepotisme hanya bisa dibatasi oleh kesadaran etika deontologi. Etika yang lahir dari kesadaran rasional Manusia kalau kata Imanuel Kant.
Dalam konteks politik Nasional dan daerah, seberapa kuat komitmen pejabat tinggi pemerintahan memproduksi kesadaran rasional kemanusiaannya dalam merawat demokrasi agar tetap menjadi ruang yang lebih inklusif untuk di akses oleh semua pihak.
Atau sebaliknya, menjadi aktor utama mendulang benih-benih dinasti politik.
Penyakit ingin menguasai semacam itu harus diredam dengan kebijakan proteksionisme negara. Jika tidak, klaim ‘pertumbuhan ekonomi’ akan terus mengaburkan problem ketimpangan sosial di Masyarakat.
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi Sulteng Masuk Tiga Besar Nasional, Mendagri: Ini Prestasi Nyata