Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
Semestinya Indonesia menjadi produsen udang terbesar, tangguh, dan disegani karena memiliki sejumlah dukungan mendasar yang menguatkan.
Garis pantai 96.000 km, memiliki potensi tambak 1 juta ha, negara kepulauan beriklim tropis, dan tersedia SDM terampil, memungkinkan bisa berproduksi sepanjang tahun.
Keunggulan itu, belum bisa dimanfaatkan sesuai rencana. Tercermin pada produksi tahun 2024 hanya sebesar 492.000 ton setelah Equador, Chima, India dan Vietnam (Seafood Megazine 2024).
Baca Juga: RI Berpeluang Jadi Produsen Udang Tangguh dan Disegani, Antara Lain Benahi Tiga Soal
Equador negara kecil, dengan garis pantai terbatas (2.247 km) pada tahun yang sama mampu berproduksi sekitar 1,4 juta ton. Menjadikan mereka sebagai raja udang dunia.
Selain produksi, persoalan lain menghantam industri andalan sektor KP dalam penerimaan devisa (hampir 40 % ) adalah; penyakit udang disebabkan bakteri dan virus hingga kini belum reda.
HPP (Harga Pokok Produksi) yang relatif tinggi dibanding kompetitor, ikut menambah beban bangun daya saing industri yang melibatkan
tenaga kerja menghampiri 1 juta jiwa.
Mutu dan keamanan pangan belum bisa dijamin secara baik. Pertanda kesadaran, pola ruang, pembinaan dan pengawasan belum berjalan sesuai mekanisme.
Paling menghebohkan ketika pasar , terutama AS menolak udang beku asal Indonesia karena terindikasi positif mengandung antibiotik dan radioaktif Cesium-137.
Meredam persoalan itu, mesti dilakukan perubahan totalitas secara paralel. Tidak boleh lagi dilakukan parsial yang selama ini menjadi ciri dari pembenahan industri padat karya dan modal serta padat teknologi ini.
Sepaham, sepakat kemudian dieksekusi tiga pilar pelaku industrislisasi sangat penting. Harapannya agar industri udang tangguh dan disegani serta berkelanjutan bisa direalisasikan.
Tiga pilar itu, adalah pilar hulu (pabrik benih, pakan dan input produksi lainnya). Pilar tengah adalah pelaku usaha tambak. Mulai kelompok pengguna teknologi tradisional, semi intensif dan intensif.