Ucapan Xi memberi sinyal Beijing tak menutup pintu negosiasi, meskipun ketegangan imbas aksi saling balas tarif yang hingga kini masih terasa.
Aksi Saling Balas Tarif dan Dampaknya ke Dunia Usaha
Menilik ke belakang, selama beberapa bulan terakhir, hubungan dagang AS–China memburuk akibat aksi saling balas tarif.
Baca Juga: Liverpool Dibantai Crystal Palace, Juara Bertahan Newcastle Lolos Piala Liga
Kedua negara menerapkan sanksi yang menghantam berbagai sektor, mulai dari teknologi tinggi hingga logam tanah jarang.
Terbaru, keduanya bahkan saling mengenakan tarif tambahan terhadap kapal asing yang berlabuh di pelabuhan masing-masing.
Kementerian Transportasi China baru-baru ini menetapkan biaya pelabuhan baru bagi kapal berbendera AS sebesar 400 yuan atau setara Rp937.364 per tonase (kapasitas ruang muat dalam kapal) bersih yang akan naik bertahap hingga 1.120 yuan atau Rp2,6 juta pada 2028.
Tak lama berselang, Trump membalas dengan menaikkan tarif impor barang asal China hingga 100 persen serta membatasi ekspor perangkat lunak penting ke Beijing.
Langkah saling balas ini menciptakan efek domino bagi rantai pasok global, termasuk ke Indonesia yang dinilai masih bergantung pada stabilitas ekspor bahan mentah dan produk manufaktur.
Pandangan Dunia Usaha Indonesia
Terkait aksi saling balas tarif AS-China dalam sektor biaya pelabuhan, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Bakrie sempat menilai adanya dinamika dalam sistem perdagangan dunia saat ini.
Anindya menyebut, perang tarif bukan lagi sekadar kompetisi ekonomi, tetapi menunjukkan ketidakkonsistenan kebijakan global yang dapat mengguncang kestabilan pasar.
Baca Juga: Krisis Cedera Pemain Barca Semakin Parah, Giliran Pedri Didiagnosis Mengalami Robekan Otot Kaki
“Secara umum, dunia sekarang penuh tantangan. Tarif itu bukan hanya soal saling mengungguli. Yang lebih bahaya justru ketidakkonsistenan kebijakan yang terus berulang,” ujar Anindya dalam Indonesia International Sustainability Forum (IISF) di Jakarta, pada 11 Oktober 2025.
Ketum Kadin itu menyoroti kondisi tersebut menjadi alasan kuat bagi Indonesia untuk memperluas pasar ke kawasan Eropa, yang dinilai lebih konsisten dan memiliki ukuran pasar mencapai 21 triliun dolar AS atau setara Rp349,2 triliun.