ekonomi

Kinerja Industri Udang Makin Merosot, Soal Internal Mesti Dibenahi dan Kebijakan Trump Dicari Solusinya

Minggu, 20 April 2025 | 06:03 WIB
Dr. Hasanuddin Atjo. (Foto: Ist).

Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo

Industri udang nasional terus menerus diterpa "gelombang badai" yang telah menurunkan daya saingnya. Secara internal penyakit udang menjadi soal utama yang sudah berlangsung lama dan perlu solusi konkrit.

Soal internal lainnya masih diperhadapkan kepada isu tata kelola perizinan, mutu udang, HPP (Harga Pokok Produksi) dan mahalnya ongkos logistik ikut menurunkan daya saing, sehingga melemahkan kinerja industri udang.

Regulasi tata kelola perizinan dinilai ribet. Bahkan karena belum memenuhi aturan satu kementerian, petambak bisa berhadapan dengan pidana. Dan ini membuat sejumlah pelaku usaha berpikir dua kali dan menurunkan minat untuk berinvestasi pada bisnis ini.

Kementerian maupun lembaga memandang bahwa tata kelola perizinan merupakan masalah utama terhadap kinerja industri udang nasional yang merosot. Sementara itu pelaku usaha beranggapan tata kelola itu menjadi masalah buat mereka. Karena berbelit, panjang dan ribet yang harus diurus sendiri.

Baca Juga: Isu Anti Biotik Budidaya Udang Kembali Merebak, Perlu Strategi Agar Tidak Berulang dan Terhindar Penolakan Pasar

Harga pokok produksi (HPP) udang kita lebih mahal sekitar $US 0.75 dari Ekuador dan $US 0.30 dari Vietnam. Negeri yang baru saja merdeka tahun 1975, boleh dibilang mereka banyak belajar dari Indonesia.

Mutu udang juga dinilai rendah, karena jarak sentra produksi ke cold storedge pada umumnya membutuhkan waktu 2 hingga 3 hari perjalanan. Akibatnya udang yang tadinya bermutu baik menjadi rendah.

Malah pola pascapanen seperti itu tetap dipertahankan meski jarak dengan cold storedge relatif dekat. Ini dikarenakan adanya harapan penambahan bobot udang sebesar 7 hingga 8 persen oleh adanya retensi air pada saat diangkut dalam wadah berinsulasi berbahan pengawet es.

Udang yang pascapanennya seperti ini akan lebih mudah diterima oleh pasar Amerika. Sementara untuk pasar Uni Eropa, Jepang dan China akan lebih sulit karena persyaratan mutu yang lebih ketat.

Kebijakan Donald Trump yang dinilai ugal-ugalan terhadap prenerapan tarif resiprokal atau pengenaan pajak impor yang tinggi terhadap ekspor produk sejumlah negara termasuk dari Indonesia, menyebabkan beban pelaku usaha makin bertambah.

Baca Juga: SCI Bicarakan Nasib Petambak Udang yang Mulai Terpuruk, Perlu Perhatian Berimbang dan Mencontoh Ekuador

Ekspor komoditi dari Indonesia termasuk udang nantinya akan dikenakan pajak impor sebesar 32 persen. Meskipun pada saat ini pemerintah terus berupaya melakukan negosiasi, agar bisa tidak sebesar itu.

Sebelumnya, udang indonesia yang masuk ke AS dikenakan pajak impor senilai 3,6 persen, dan menyebabkan pembelian udang ditingkat pembudidaya berkurang.

Pemerintah juga melahirkan regulasi berupa Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2023 tentang devisa hasil ekspor kepada kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam.

Eksportir komoditi ini berdasar PP nomor 36 tersebut diharuskan memarkir dananya, apabila nilai ekspornya mencapai angka minimal $US 250.000 dollar. Dana tersebut diparkir selama satu tahun meskipun mendapat kompensasi bunga.

Halaman:

Tags

Terkini