Pertama, bangun mindset yang sama bahwa udang harus bisa sesegera mungkin tiba di pabrik untuk diolah dengan penerapan sistem rantai dingin yang baku (terstandarisasi).
Tidak lagi disengaja mengulur waktunya hingga 3 atau 4 hari baru tiba di pabrik, karena ada harapan penambahan kadar air pada udang sebesar 6 hingga 7 persen dan merupakan marjin pedagang perantara. Bahkan sering harga udang di tambak bisa lebih tinggi dari harga di pabrik prosessing karena adanya faktor penambahan kadar air.
Filosofi "membenarkan yang biasa tapi salah" saatnya ditinggalkan, harus diubah menjadi "membiasakan yang benar". Untuk tujuan itu komunikasi antar petambak dengan industri prosesing maupun pedagang pengumpul serta pemodal mesti dibangun.
Sejak lama upaya seperti itu telah dilakukan, namun belum memberikan hasil seperti yang diharapkan. Dipandang perlu affirmasi kementerian/lembaga dan organisasi perangkat di daerah lebih ditingkatkan agar sinergitas antar pelaku usaha dapat tercipta.
Peserta rapat juga sepakat bahwa idealnya pemerintah jangan lagi terlibat sebagai "pelaku usaha", cukup meberi pelayanan dan fasilitasi serta membantu mencari solusi keluar dari persoalan daya saing udang yang semakin terancam.
Kedua, diperlukan regulasi dan insentif bagi investor dalam negeri yang ingin berinvestasi membangun pabrik prosesing udang, dan pabrik benih pada sentra produksi baru seperti di Sulawesi, Maluku dan Papua serta Kalimantan dan wilayah baru lainnya.
Pendatang baru seperti start up yang mulai tumbuh diharapkan tertarik untuk berinvestasi pada bisnis hilir yang pada saat ini menjadi salah satu kritikal poin dalam rantai bisnis udang. Pendatang baru yang berusia milenial tentunya lebih adaptif, update dan inovatif terkait dengan hal seperti ini.
Ketiga, membangkitkan lagi budidaya udang terutama teknologi tradisional yang jumlahnya hampir 90 persen dari total luas tambak nasional sekitar 400 ribu ha. Tambak tradisional tersebar luas mulai Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Lampung dan Sumatera Utara.
Dan bangkitnya tambak udang tradisional di daerah tersebut mampu menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri prosesing di wilayah masing l-masing yang saat ini kesulitan mendapatkan bahan baku yang segar karena jarak yang jauh (dari luar Jawa).
Menurut Ketua AP5I (asosiasi prosesing ikan) Budi Wibowo bahwa pada saat ini Indonesia memiliki kapasitas terpasang untuk prosesing hasil-hasil perikanan sebesar 850 ribu ton dengan tingkat pemanfaatan untuk udang hanya sekitar 350 ribu ton.
Menurut Budi dengan upaya revitalisasi tambak tradisional bisa membantu kelangkaan bahan baku di Jawa, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara. Dan upaya ini lagi difasilitasi oleh sejumlah asosiasi terkait dengan industri udang yang dilakukan secara mandiri.
Diperlukan afirmasi pemerintah untuk membangun prasarana irigasi tambak, jalan produksi dan upaya transformasi inovasi teknokogi seperti budidaya berbasis nursery yang telah terbukti memperbaiki kinerja budidaya. Tujuannya agar revitalisasi bisa berlangsung cepat dan memperbaiki daya saing.
Baca Juga: Teknologi Budidaya Udang ala Ekuador, Telah Diujicobakan di Kabupaten Parigi Moutong Sulteng
Keempat, adalah mendorong pihak swasta mengembangkan breeding center untuk induk udang agar hatchery mampu mendapatkan induk-induk unggul untuk memproduksi benih udang yang bebas penyakit dan mampu tumbuh cepat.