ekonomi

Hilirisasi Nikel Sulteng Dinilai Bermanfaat Namun Sisakan Tantangan, PR Bagi Pemerintah Baru

Senin, 15 Juli 2024 | 06:27 WIB
Dr. Hasanuddin Atjo. (Foto: Ist).

Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo

Hilirisasi nikel melambungkan nama Sulawesi Tengah pada level nasional. Gegara hilirisasi menyebabkan pertumbuhan ekonomi daerah ini pada tiga tahun terakhir berada dalam kisaran diatas 10 persen, dua digit diatas rata-rata nasional sekitar lima persen.

Kebijakan Jokowi menyetop ekspor bahan baku nikel dan mengharuskan diolah dalam negeri melalui UU No 3/2020, berdampak terhadap masuknya investasi membangun smelter untuk pemurnian bahan baku nikel, agar bisa diperoleh nilai tambah.

Penerapan UU No 3/2020 itu diprotes keras sejumlah negara importir,  karena khawatir industri smelternya akan kekurangan bahan baku. Apalagi Indonesia tercatat memiliki bahan baku terbesar dunia sekitar 55 juta ton atau 46 persen dari deposit dunia. Namun protes tersebut akhirnya ada solusinya.

Baca Juga: Morowali dan Morut Penghasil Nikel Sulteng Menjadi Terkenal, Tatakelola Sumberdaya Mesti Update dan Inovatif

Sebelumnya nilai ekspor bahan baku nikel dari Indonesia pada tahun 2017 hanya sebesar $US 3,3 milyar. Setelah hilirisasi itu, nilai ekspor naik menjadi  $US 33,5 milyar. Meningkat kurang lebih 10 kali, ini berkontribusi bagi pertumbuhan ekomomi daerah dan nasional.

Kebijakan larangan ekspor itu juga berdampak bagi Sulteng. Tahun 2020 investasi PMA dimulakan guna membangun smelter nikel di Morowali dan Morowali Utara. Selanjutnya pada tahun 2021 nilai investasi PMA bertambah dan tercatat sebesar  $US 7,5 milyar, setara
dengan 112,5 triliun rupiah (kurs 15 ribu rupiah  per dolar). 

Investasi PMA ini menjadi yang tertinggi  di Indonesia dengan kontribusi sekitar 16,4 persen dari total PMA saat itu, sekitar $US 45,5 milyar, mengalahkan DKI Jakarta dan Jawa Barat. Investasi ini kemudian memicu pertumbuhan ekonomi Sulteng.

Pada satu sisi hilirisasi nikel menyebabkan meningkanya pertumbuhan ekonomi Sulteng.  Tahun 2021 pertumbuhannya sebesar 11,68 persen, tahun 2022 sebesar 12,30 persen. Dan selanjutnya pada tahun 2023 sebesar 11,93 persen.

Baca Juga: Tak Hanya Nikel, Morowali Utara Juga Menyimpan Sumber Daya Alam Batu Bara

Angka pertumbuhan ekonomi yang polanya naik turun adalah sebuah pola baku, dikarenakan  pertumbuhan akan meningkat apabila ada investasi baru yang  masuk pada satu wilayah. Oleh karena itu, laju pertumbuhan investasi PMDN maupun PMA di Sulteng harus dijaga dan ditingkatkan.
 
Hilirisasi juga meningkatkan kapasitas fiskal provinsi yang dikenal dengan negeri seribu megalith ini. Sebelumnya PAD (Pendapatan Asli Daerah) daerah ini kurang lebih satu triliun rupiah, dan pada saat ini setelah hilirisasi mendekati angka dua triliun rupiah.

Prestasi yang telah dicapai oleh Pemerintah Daerah pada saat ini tentunya patut dihargai dan diberi apresiasi. Namun masih banyak tantangan yang perlu diselesaikan dan menjadi   tugas pemerintah daerah yang baru, hasil dari pileg 2024 dan pilkada akhir tahun 2024 nanti.

Disisi lain bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan fiskal yang meningkat, disayangkan belum mampu turunkan angka kemiskinan daerah ini secara signifikan. Dan masih berada diatas angka rata rata nasional  sembilan persen. Ini  menjadi salah satu tantangan utama pemerintah yang baru.

Baca Juga: Spanyol Juara Euro 2024, Gilas Inggris 2-1, Lamine Yamal Cetak Sejarah Baru

Tiga tahun terakhir kemiskinan di Sulteng, turun  kurang dari satu persen. Pada tahun 2020 kemiskinan tercatat sebesar 12,99 persen  (400.235 jiwa). Selanjutnya pada tahun 2021 sebesar 12,59 persen (392.825 jiwa), dan tahun 2022 sebesar 12,32 persen (389.003 jiwa).

Selain persoalan kemiskinan yang masih sulit diturunkan, hilirisasi juga menimbulkan disparitas pertumbuhan antar kabupaten/kota  dan antar 17 sektor  yang membentuk PDRB (Produk Domestik Regional Bruto).

Halaman:

Tags

Terkini