Oleh: Hasanuddin Atjo
Harga udang vaname di pasar dunia kurun waktu tiga tahun terakhir, periode 2020-2023, cenderung turun. Selain disebabkan dampak krisis ekomomi global, juga karena pengaruh naiknya suplay hasil budidaya.
HPP, harga pokok penjualan, atau ongkos produksi juga mengalami kenaikan tajam karena meningkatnya biaya logistik dan input produksi seperti pakan, peralatan dan mesin, BBM serta tarif daya listrik dan pemasangan.
Ekuador, Amerika Latin kini menjadi penghasil udang nomor satu dunia. Padahal, garis pantainya kurang dari 2.500 km. Negara ini bisa memproduksi udang pada tahun 2022 sebesar 1,1 juta ton, sekitar 20 % kebutuhan dunia. Dengan posisi seperti ini, Ekuador berpeluang bisa mendikte pasar.
Baca Juga: REDESAIN INDUSTRIALISASI UDANG
Tidak hanya jago dalam hal memproduksi, Ekuador dari laporan yang ditelusuri bisa menekan HPP lebih rendah 0,5 - 0,7 $US per kg udang dibandingkan Indonesia, India, Vietnam, dan Thailand.
Sistem budidaya multistep yaitu pembesaran di tambak menggunakan benur hasil nursery, padat tebar rendah antara 8 - 20 ekor per meter
dan murahnya harga minyak diesel, ditengarai jadi salah satu sebab rendahnya HPP untuk memproduksi udang di Ekuador yang tahun 2021 berpenduduk sekitar 17,8 juta jiwa.
Sejumlah negara di Afrika seperti Mesir, Oman dengan karakter pesisir gurun pasir serta salinitas air laut yang lebih tinggi, saat ini berhasil budidayakan udang dengan teknologi yang terintegrasi dan diadaptasikan.
Turunnya harga, naiknya HPP dan majunya negara lain dalam budidaya udang, akan menjadi salah satu tantangan bagi Indonesia bergaris pantai terpanjang kedua di dunia, hampir 100.000 km.
Selain potensi itu, Indonesia juga memiliki iklim tropis yang memungkinkan bisa berbudidaya sepanjang tahun. Apalagi sekitar 40 % devisa hasil perikanan tahun 2022 sebesar $US 5,9 miliar disumbangkan oleh ekspor udang.
Produksi udang Indonesia berdasarkan data kompilasi dari asosiasi udang, tidak lebih dari 500.000 ton per tahun. Kinerja ini pada tiga tahun terakhir cenderung tidak bergerak signifikan, meskipun investasi tambak udang, sarana - prasarana produksi, dan hilirisasi terus bertambah.
Kini, marjin usaha budidaya udang diperkirakan tersisa 20 % dari sebelumnya yang bisa mencapai 30 % bahkan ada yang sampai 35 %. Dan kondisi ini membuat pelaku usaha budidaya sepertinya "shock" karena bisnis ini tadinya bermarjin tinggi tiba tiba-tiba anjlok.
Baca Juga: UDANG 2 JUTA TON : Sebaiknya Prioritaskan Perbaikan Genetik, Sistem Budidaya dan Hilirisasi
Bila marjin permusim tanam tersisa 20 %, maka marjin usaha setiap bulannya dari bisnis budidaya ini tinggal 3 %. Dan bisa menyebabkan bisnis ini tidak lagi menarik karena tingkat risiko usaha budidaya adalah yang paling tinggi dalam rantai bisnis udang. Ini harus menjadi warning, "lampu kuning" bagi keberlanjutan industri udang.
Membangun daya saing jadi kata kunci "menyehatkan" Industri Udang Nasional agar tidak "lumpuh". Dan juga sebagai upaya dalam merealisasikan peningkatan produksi dan devisa sebesar 250 % dari komoditi ini yang diprogramkan pemerintah melalui Kementerian KP.