METRO SULTENG – Rencana kebijakan pemblokiran rekening pasif atau dormant oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menuai kritik dari kalangan akademisi. Ekonom Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) menilai kebijakan ini perlu kajian yang komprehensif karena berpotensi menimbulkan dampak yang merugikan bagi nasabah legal.
Menurut pengamat ekonomi UNUSIA, klasifikasi aktivitas ilegal pada rekening dormant harus dilakukan secara cermat, tidak bisa disamaratakan. “Rencana kebijakan pemblokiran rekening pasif oleh PPATK perlu pertimbangan yang komprehensif. Jangan karena alasan adanya praktik ilegal, yang legal malah ikut dirugikan,” tegasnya. Ia mengingatkan bahwa perlakuan yang general berisiko membuat pemilik rekening yang sah ikut terdampak.
Ekonom UNUSIA Muhammad Aras Prabowo menekankan bahwa bukan kebijakan pemblokiran yang dibutuhkan, tetapi peningkatan kontrol atas aktivitas ilegal yang memanfaatkan rekening pasif. “Jika isunya adalah aktivitas ilegal, rekening aktif pun sama peluangnya untuk digunakan pada modus serupa. Jadi kuncinya adalah kontrol,” jelasnya.
Pernyataan ini menegaskan bahwa kebijakan yang terlalu menitikberatkan pada status “pasif” justru melewatkan akar masalah sesungguhnya, yaitu lemahnya pengawasan transaksi mencurigakan.
Aras juga menyinggung fenomena masifnya aktivitas ilegal yang menggunakan rekening bank, salah satunya penipuan melalui pesan singkat yang hampir setiap hari menimpa masyarakat.
“Betapa masifnya aktivitas ilegal yang terjadi menggunakan rekening, sebut saja penipuan melalui pesan singkat yang hampir setiap hari terjadi. Tapi tidak ada langkah konkret yang diambil. Jika dilapor ke kepolisian, sering tidak direspons serius karena nilainya dianggap tidak signifikan, padahal bisa sampai ribuan kasus yang terjadi setiap hari,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa praktik seperti ini adalah kerja sindikat, yang tidak bisa dibebankan hanya pada kepolisian, melainkan harus menjadi kolaborasi antara PPATK dan seluruh pemangku kepentingan terkait, termasuk otoritas perbankan dan lembaga perlindungan konsumen.
Selain risiko terhadap nasabah legal, kebijakan pemblokiran ini juga menimbulkan masalah administratif. PPATK memang menyatakan bahwa dana nasabah tetap 100% aman, tetapi prosedur reaktivasi dan klarifikasi dokumen sering kali menyulitkan pemilik rekening yang tidak pernah terlibat tindak kriminal.
Minimnya sosialisasi dari pihak berwenang membuat publik cemas dan kebingungan. Banyak masyarakat baru mengetahui kebijakan ini setelah media memberitakan atau setelah rekening mereka terkena blokir, sehingga memunculkan kesan kebijakan yang represif.
Aras menilai bahwa pendekatan pemblokiran massal tanpa verifikasi mendalam bukan solusi. Sebaliknya, ia memberikan beberapa rekomendasi. Pertama, PPATK harus melakukan seleksi dan prioritas pada rekening yang benar-benar terindikasi digunakan untuk tindak kejahatan, bukan sekadar karena pasif.
Baca Juga: Hotman Paris Juga Murka Sama PPATK : Kita Menjerit Kalau Tak Bisa Pakai Tabungan
Kedua, fokus pada peningkatan kontrol dan analisis transaksi mencurigakan, baik pada rekening pasif maupun aktif. Ketiga, sediakan prosedur yang transparan dan mudah agar nasabah legal tidak mengalami kerugian waktu dan biaya akibat kebijakan ini.
Terakhir, ia mendorong kolaborasi multipihak, termasuk bank, kepolisian, dan lembaga, untuk memperkuat ekosistem perlindungan terhadap tindak kejahatan finansial.