Hal ini dilakukan untuk mencegah penyalahgunaan film yang mengakibatkan konta-produktif dan salah mempersepsikan isi dari film.
Konsep pemutaran film dan diksusi film dikemas sebagai media pendidikan untuk mendorong kesadaran masyarakat mencegah penyebaran paham yang menjadi legitimasi ideology dengan melakukan kekerasan, melawan narasi-narasi radikal-ekstremist, dan narasi-narasi intoleran.
Adriany menyatakan, bahwa seseorang belajar dari peniruan dan dari hasil pengamatan. Dalam hal ini, masyarakat mengkonsumsi film/video yang kemudian secara tidak langsung terjadi suatu pengamatan, sehingga media yang cepat mempengaruhi sikap dan tindakan sesesorang salah satunya adalah media film atau audio visual.
"Mengapa memilih mendistrubusikan informasi dan memberikan edukasi melalui media film untuk melawan narasi-narasi radikal-ekstremisme?, karena media yang dekat dengan keseharian masyarakat adalah media sosial dan audio visual. Sehingga memilih film sebagai salah satu media komunikasi sosial," katanya.
Secara khusus, kata Adriany, masih minimnya publikasi kampanye sebagai media pendidikan dengan menyajikan cerita realita yang di proyeksikan ke layar film, tentang bagaimana seseorang terpapar paham radikal-ekstremisme yang berbasis kekerasan.***