METRO SULTENG - Kehadiran Mega Proyek PLTA Poso yang terletak di Desa Sulewana, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, kini memberikan dampak serius bagi masyarakat setempat.
Dampak tersebut mencakup berbagai aspek kehidupan seperti ekonomi, pelanggaran HAM, kerusakan ekosistem. Bahkan, PLTA itu dapat merusak budaya masyarakat dan mengabaikan hak-hak mereka.
Oleh karena itu, sebagai bentuk protes, Pemerintah Desa Sulewana bersama masyarakat serta Yayasan Solidaritas Perempuan Poso, meminta pihak perusahaan dan pemerintah untuk bertanggung jawab.
Pemdes Sulewana melalui sekretaris desa, David Banibi menyampaikan bahwa pihaknya memiliki peran penting dalam menjembatani kepentingan masyarakat, yang melakukan tuntutan akibat dampak negatif dari aktivitas PLTA.
"Langkah yang kami tempuh yaitu kami sudah melakukan audiensi dengan pihak Kecamatan Pamona Utara sebagai kepala wilayah. Ada juga surat aduan kami yang sudah tembus ke dinas provinsi dan kami menunggu respon balik," ujarnya di Kantor SP Poso, Kamis, (8/5/2025).
Kemudian, kata dia, mereka juga telah melakukan audiensi ke dinas terkait agar dapat membantu dan memfasilitasi pemerintah desa bersama masyarakat, untuk menyelesaikan masalah tersebut.
"Kami selaku pemerintah desa akan terus melakukan audiensi agar hal ini cepat direspons, sehingga dampak ini tidak akan berkembang jadi sebuah keresahan. Karena dampak sosial maupun dampak ekonomi paling dirasakan masyarakat," ungkapnya.
Ia juga menyatakan telah memasukan surat aduan kepada Anggota DPRD Sulteng Royke W Kaloh, yang pernah meninjau langsung lokasi terdampak.
"Kami berharap agar anggota DPRD Royke W Kaloh segera menindaklanjuti karena beliau juga sudah berkunjung langsung ke lokasi terdampak dan kami telah memberikan bukti yang terdampak," bebernya.
Sebelum kehadiran PLTA Poso, masyarakat Sulewana dulunya sumber mata pencaharian bergantung pada sekitar danau Poso. Adanya PLTA ini, kata masyarakat Sulewana, Dirmas Tanggeli menyebabkan hilangnya lahan perikanan hingga berakibat rusaknya rumah masyarakat setempat.
"Karamba ikan, pagar belut, bencana ikan mati karena perubahan kualitas air, kemudian retaknya rumah akibat dampak dari PLTA," ungkapnya.
Menurut dia, dulunya hasil penangkapan ikan dalam 3 bulan berkisar 300-500 kg dan harga perkilogram sekitar Rp50.000. Akibat adanya PLTA tersebut masyarakat tidak bisa lagi melakukan penangkapan ikan.
Olehnya, masyarakat meminta ganti untung kepada perusahaan senilai Rp7.500.000 satu petak karamba.