Mengulik Budaya Masyarakat Banggai Bersaudara, Mombowa Tumpe dan Malabot Tumbe

photo author
- Rabu, 6 Desember 2023 | 19:19 WIB
Upacara Adat Malabot Tumbe (Foto : dok. Prokopim Balut)
Upacara Adat Malabot Tumbe (Foto : dok. Prokopim Balut)

Dikutib dari laman Pariwisata Indonesia, sejarahnya berawal dari kisah kedatangan Adi Cokro atau Adi Soko yang tidak lain seorang bangsawan dari Kerajaan Kediri di Pulau Jawa, ke Banggai (Banggai Laut) untuk memperdalam ajaran Islam.

Di tempat belajarnya, Adi Soko pun mendirikan Kerajaan Banggai dan menjadi raja pertamanya. Sang Raja lalu menikah dengan putri dari Kerajaan Matindok (Batui) dan memiliki anak yang bernama Abu Kasim. Atas kelahiran sang cucu, Raja Matindok pun menghadiahkan sepasang burung Maleo kepada Adi Soko.

Singkat cerita, Adi Soko harus kembali ke Pulau Jawa karena ada urusan mendesak. Meski istri dan anaknya tidak ikut, sang raja tetap membawa serta sepasang burung Maleo pemberian Raja Matindok.

Kepergian Adi Soko untuk waktu yang lama membuat Kerajaan Banggai kehilangan pemimpin. Sebagai putra raja, Abu Kasim pun menyusul ke Pulau Jawa untuk membawa pulang ayahnya Adi Soko ke Kerajaan Banggai.

Sayangnya Adi Soko tak bisa kembali lagi ke Banggai, dan memerintahkan Abu Kasim untuk naik tahta. Tapi, sang anak menolak.

Setelah diskusi panjang, akhirnya disepakati bahwa tahta Kerajaan Banggai akan diberikan kepada Mandapar, putra Adi Soko dari pernikahan yang lain. Adi Soko juga memberikan sepasang burung Maleo miliknya untuk dibawa pulang ke Kerajaan Banggai karena di Pulau Jawa, burung tersebut tidak bisa berkembang biak.

Setibanya di Banggai, Abu Kasim pun melakukan berbagai cara agar burung Maleo tersebut berkembangbiak. Namun usahanya gagal.

Maka, Abu Kasim pun menitipkan sepasang burung Maleo kepada keluarganya di Kerajaan Batui, dengan pesan agar telur pertama burung tersebut diserahkan ke Kerajaan Banggai.

Amanat leluhur inilah yang terus dijaga oleh masyarakat adat Banggai Bersaudara dari tahun ke tahun. Bahkan warga Batui dilarang memakan telur burung Maleo sebelum telur pertama dipersembahkan ke Kerajaan Banggai. Ini yang menjadi cerminan ikatan persaudaraan masyarakat Banggai Bersaudara.

Konon, tradisi Mombowa Tumpe dan Malabot atau Molabot Tumbe diperkirakan telah berlangsung sejak era kepemimpinan Raja Banggai Maulana Prins Mandapar (Mbumbu Doi Godong) sekitar tahun 1600, dan sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat adat, yang meyakini pengantaran telur maleo wajib dilakukan untuk menghindari bencana.

Selain itu, upacara adat Mombowa Tumpe dan Malabot Tumbe sejak tahun 2015 sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.

Sehingga tak heran, saat Festival Mombowa Tumpe dan Malabot Tumbe digelar banyak warga lokal hingga wisatawan domestik bahkan mancanegara yang datang untuk ikut menyaksikannya.

Penasaran dengan upacara adat tersebut?, Ingat, Festival Mombowa Tumpe dan Malabot Tumbe setiap tahun digelar pada bulan Desember atau saat musim bertelur burung Maleo. *(ec)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Abd Rahman M. Djafar

Sumber: Berbagai Sumber

Tags

Rekomendasi

Terkini

X