Oleh: Dr. Amil Amilin Adam Bulungo (A3B)
Konsep MSDM (Manajemen Sumber Daya Manusia) sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Karena ajaran Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin selalu menghendaki agar setiap urusan pekerjaan harus sesuai dengan tuntunan Islam, sehingga pekerjaan itu dapat bermanfaat bagi diri yang mengerjakannya maupun bagi orang lain.
Pekerjaan yang produktif dan yang berkualitas merupakan salah satu perbuatan yang digagas dalam Islam.
Potensi-potensi yang diberikan kepada manusia pada dasarnya merupakan petunjuk (hidayah) Allah yang diperuntukkan bagi manusia, supaya ia dapat melakukan sikap hidup yang serasi dengan hakekat penciptaannya. (Jalaluddin, 1996: 108).
Kualitas SDM yang mempunyai dan memegang nilai-nilai agama akan lebih tangguh secara rohaniah. Dengan demikian akan lebih mempunyai tanggung jawab spiritual terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
SDM yang tidak disertai kesetiaan pada nilai-nilai agama, hanya akan membawa manusia ke arah hedonisme belaka. Dan jika semangat hedonisme sudah menguasai manusia, maka yang terjadi eksploitasi alam sebesar-besarnya tanpa rasa tanggung jawab dan bahkan penindasan manusia terhadap manusia lain. (Wakhudin Tarmizi Taher, 1998: 240-241)
Manajemen SDM di Mata Para Ahli
Manajemen adalah ilmu atau seni mengatur pemanfaatan SDM manusia dan sumber-sumber lainnya secara efektif dan efesien untuk mencapai suatu tujuan tertentu.(Hasibuan, 1994 : 2). Mujahid juga mengatakan manajemen adalah seni menyelesaikan pekerjaan melalui orang lain (Mujahid, 2003 : 1).
Manajemen dalam al-Qur’an ada ungkapan yang mempunyai kesamaan makna. Kata-kata yang sepadan dengan makna manajemen antara lain: kata tadbir (peristiwa) yang dalam bahasa Alqur’an dirangkai dengan kata al-Amru. (QS. Yunus ayat 3).
Perintah bertadaabbur mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan segala sesuatu yang telah diciptakan Allah swt melalui Al-Qur’an dengan sistem kerja dan keteraturannya.
Jika dikaitkan dengan hakikat manajemen, maka ada beberapa prinsip dalam manajemen yang dapat dipetik dari ayat-ayat tersebut, yakni: keadilan, amanah, pertanggungjawaban, dan komunikatif.
Keadilan berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukuran; sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Keadilan lebih dititikberatkan pada meletakkan sesuatu pada tempatnya. (Dahlan, 1996).
Berbagai macam konsep yang dikemukakan oleh para ahli dalam memberikan definisi tentang MSDM antara lain:
(1). MSDM adalah pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja. (Simamora (1997).
(2). MSDM adalah suatu kebijakan dan praktek yang dibutuhkan seseorang yang menjalankan aspek “orang” atau Sumber Daya Manusia dari posisi sesorang manajemen, meliputi perekrutan, penyaringan, pelatihan, pegimbangan dan penilaian. (Menurut Dessler, 1997).
(3). MSDM disebut “Human Resource Management” yang disingkat menjadi HRM atau “staffing and development”.
Tujuan MSDM adalah untuk mendapatkan, mempertahankan, mengembang-kan, dan memakai para pegawai atau pekerja secara efisien dan efektif (berhasil guna dan berdaya guna) untuk mencapai misi organisasi. (Azhar Arsyad, 2012).
MSDM merupakan sumber keunggulan daya saing dan mampu menghadapi berbagai kondisi SDM akan tetap bertahan, karena memiliki kemampuan untuk merumuskan visi, misi, dan tujuan organisasi dan bahkan mampu mengarahkan sumber-sumber daya lainnya dalam mewujudkan visi dan tujuan organisasi (Sutrisno, 2011).
Baca Juga: UDANG 2 JUTA TON : Sebaiknya Prioritaskan Perbaikan Genetik, Sistem Budidaya dan Hilirisasi
Untuk merealisasikan peran SDM dalam organisasi, maka perencanaan SDM, rekrutmen karyawan, pengembangan karir, produktifitas kerja, dan sistem imbalan; merupakan kegiatan yang perlu diaplikasi oleh setiap organisasi.
Manajemen SDM Dalam Perspektif Islam
Konep MSDM dalam perspektif pendidikan Islam dapat diartikan sebagai proses mengelola dan mewujudkan akan manusia dan masyarakat muslim untuk benar-benar beriman dan bertakwa kepada Allah, serta diharapkan dapat memikul tugas penuh tanggung jawab, melakukan reproduksi ulama yang mempunyai kualitas keIslaman, keimanan, keilmuan, dan akhlak mulia demi membangun dirinya dan masyarakatnya. (Azyumardi Azra, 2012).
Dengan demikian, yang ingin dicapai dalam MSDM pendidikan Islam itu adalah terwujudnya manusia yang mempunyai kualitas ilmu pengetahuan dan memiliki kesadaran yang tinggi, dalam mewujudkan nilai-nilai pendidikan Islam. Tidak hanya fokus pada wilayah aspek kongnitif, tetapi juga pada aspek afektif maupun psikomotorik.
Substansi MSDM pendidikan Islam, diarahkan agar mereka mampu menguasai dengan mendalam akan ilmu agama Islam serta mampu mengamalkannya dalam kehidupan sehari-sehari.
Pendidikan Islam sebagai proses penyelamatan manusia dari berbagai persoalan yang merugikan, merupakan kerja dan karya besar manusia, baik secara individual maupun sosial yang dipersembahkan untuk mendapat ridha Allah Swt.
Baca Juga: PLTD Lipulalongo Pastikan Krisis Listrik di Kecamatan Labobo Kabupaten Banggai Laut Normal Kembali
Dakwah merupakan kerja sadar dalam rangka menegakkan keadilan, meningkatkan kesejahteraan, menyuburkan persamaan, mencapai kebahagiaan berdasarkan sistem yang disampaikan Allah Swt. (Enjang AS dan Aliyuddin, 2009).
Islam menghendaki manusia berada pada tatanan yang tinggi dan luhur. Oleh karena itu manusia dikaruniai akal, perasaan, dan tubuh yang sempurna. Islam, melalui peningkatan kualitas SDM yang berkualitas sebagai syarat kesempurnaan diri manusia itu yang memiliki kelebihan dengan makhluk yang lain (Q.S At-Tin, 95).
Kesempurnaan dimaksudkan adalah manusia menjadi individu yang dapat mengembangkan diri dan menjadi anggota masyarakat yang bermakna dan berdaya guna dengan menggunakan seluruh potensi sumber daya yang dimilikinya.
Kualitas SDM tidak akan sempurna tanpa ketangguhan mental spiritual keagamaan karena SDM yang mempunyai dan memegang nilai-nilai agama akan lebih tangguh secara rohaniah dan lebih mempunyai tanggung jawab spiritual terhadap ilmu pengetahuan serta teknologi.
SDM yang tidak disertai dengan kesetiaan kepada nilai-nilai keagamaan, hanya akan membawa manusia ke arah pengejaran kenikmatan duniawi atau hedonisme belaka. Dan jika semangat hedonisme sudah menguasai manusia, bisa diramalkan yang terjadi adalah eksploitasi alam sebesar-besarnya tanpa rasa tanggung jawab, dan bahkan yang terjadi adalah penindasan manusia terhadap manusia lain. (Wakhudin, Tarmizi Taher, 1998).
Dengan demikian, pengembangan SDM dalam perspektif pendidikan Islam adalah membentuk manusia yang berakhlak mulia, yang senantiasa bertaqwa kepada Allah Swt serta menebarkan rahmat bagi alam semesta merupakan tujuan akhir dari pendidikan Islam.
Asas-asas MSDM Dalam Perspektif Islam
Asas-asas manajemen pendidikan Islam dapat dilihat dari beberapa aspek. Azas-azas tersebut berdasarkan Al-Qur’an mencakup beberapa aspek yaitu:
(1). Ibadah
Asas mendasar manajemen pendidikan Islam adalah ibadah. Sebab seluruh aktivitas manusia sejatinya diperuntukan sebagai ibadah kepada Allah Swt.
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk, sedangkan secara terminologi ibadah adalah ketaatan kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Ibadah menurut arti yang luas, bukan hanya pengamalan rukun Islam, seperti sholat dan zakat, puasa dan ibadah haji bagi orang yang mampu. Akan tetapi ibadah dalam arti yang luas yaitu segala aktivitas manusia yang dilandasi dengan niat yang ikhlas dan hati yang suci dalam rangka untuk mencapai keridhaan Allah Swt.
Dalam hal ini, Ibn Taimiyah menyatakan ibadah adalah nama bagi apa yang disukai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan, perbuatan yang batin dan zahir. (Zuhaily, 1997).
(2). Amanah
Amanah dalam konsep Al-Qur'an yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban manusia sebagai khalifah. Amanah meliputi tiga dimensi.
Pertama, berkaitan dengan hubungan dengan Allah Swt. Kedua, terkait dimensi antar manusia. Ketiga, terkait dengan diri sendiri. Pada dimensi ini amanah dilihat sebagai sesuatu yang harus dikerjakan untuk kebaikan dirinya.
Amanah memiliki beberapa arti, antara arti yaitu: Pesan yang dititipkan kepada orang lian untuk disampaikan. Amanah juga diartikan sesuatu yang dipercayakan atau dititipkan kepada orang lain. (Pusat Bahasa, 2008).
Dalam bahasa Arab, kata amanah berarti lawan kata khianat yaitu ketenangan dan ketenteraman hati. Al-tashdiq yaitu pembenaran. (Ibn Zakariyya: Mu’jam, 72).
Amanah dalam perspektif pendidikan Islam menempatkan suatu tanggung jawab kepada individu yang memiiki pengetahuan dan keterampilan di bidangnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadits riwayat Al-Bukhari sebagai berikut yang artinya:
"Muhammad bin Sinan menyampaikan (riwayat) kepada kami, Qulaih bin Sulaiman telah menyampaikan (riwayat) kepada kami, (riwayat itu) dari Atha’, dari Yasar, dari Abu Hurairah ra yang berkata: Rasulullah Saw bersabda: Apabila suatu amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya. (Abu Hurairah) bertanya: Bagaimana meletakkan amanah itu, ya Rasulullah?
Beliau menjawab: Apabila suatu perkara diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya. (Muhammad bin Ismail Abu Abdillah Al-Bukharyal-Ja’fi)".
Hadis ini menarik dicermati karena menghubungkan antara amanah dengan keahlian seorang dalam menjalankan amanah.
Apabila suatu urusan diserahkan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya” merupakan penjelasan untuk kalimat pertama : “Apabila amanah disia-siakan, maka tunggulah saat kehancurannya.”
Hadis ini ternyata memberi peringatan yang berperspektif manajerial karena amanah berarti menyerahkan suatu perkara kepada seseorang yang professional. (Mujamil Qomar. Manajemen Pendidikan Islam (Surabaya : Erlangga, 32).
(3). Ketaatan
Dalam dunia pendidikan Islam, apa yang dicita-citakan bersama bisa terwujud. Dalam bahasa agama, ketaatan bagian dari ibadah kepada Allah Swt, karena ibadah merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah Swt yang didasari ketaatan mengerjakan perintah-Nya dan menjahi larangan-Nya.
Ibadah sama artinya dengan taat atau kepatuhan dan ta’abbud (penghambaan) mmpunyai persamaan arti dengan al-tanssuk (pengabdian) (al-Qardhawy, 1991: 22).
(4). Keadilan dan Ihsan
Di antara asas manajemen pendidikan Islam adalah keadilan dan ihsan. Secara etimologi, keadilan bermakna memiliki dua makna, pertama istiwa’ (lurus dan sama). Kedua I’wijaj (bengkok dan menyimpang) konsep (Ibnu Faris IV: 246).
Penyebutan istilah al-Ihtsan dan al-‘adl tersebut mengisyaratkan adanya perbedaan prinsipil antara kedua kata tersebut. Keadilan mengandung indikasi keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Sedangkan ihsan lebih kepada makna kepasrahan dan keikhlasan berbuat tanpa dilhat dari sisi keseimbangan antara hak yang diterima dan apa yang ia berikan kepada orang lain
(5). Musyawarah
Musyawarah adalah berkumpul untuk membicarakan suatu perkaran agar masing-masing meminta pendapat yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada pada dirinya. Unsur-unsur musyawarah yang harus dipenuhi:
a. Al-haq artinya hal yang dimusyawarahkan adalah kebenaran.
b. Al-‘adl artinya dalam musyawarah mengandung nilai keadilan.
c. Al-hikmah artinya dalam musyawarah dilakukan dengan bijaksana. (QS. Ali-‘Imran 3 : 159).
Pengembangan Masyarakat (Community Development) Dalam Perspektif Islam
Salah satu metode pekerjaan sosial yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat, melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip-prinsip partisipasi sosial.(Edi Suharto, 2017 :37).
Pengembangan masyarakat, terdiri dari dua kata, yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”. Secara singkat, pengembangan atau pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia.
Bidang-bidang pembangunan biasanya meliputi beberapa sektor, yaitu ekonomi, pendidikan, kesehatan dan sosial budaya. (Mayo, 1998 : 162). Masyarakat dapat diartikan dalam dua konsep, yaitu masyarakat sebagai sebuah “tempat bersama, masyarakat sebagai “kepentingan bersama” (Edi Suharto, 2017)
Perspektif teoritis pengembangan masyarakat dapat dibagi ke dalam dua bingkai, yakni pendekatan profesional (tradisional, netral, teknikal) dan pendekatan radikal (transformasional).
Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan anti rasis.
Sedangkan pendekatan radikal lebih terfokus pada upaya mengubah ketidak seimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan kelompok yang lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, menganalisis sumber-sumber ketertindasannya. (Twelvetrees (1991).
Pengembangan sumber daya manusia yang membawa misi, memberikan arah baru dalam perubahan yang difokuskan pada peningkatan ketahanan dan kompetensi setiap individu yang terlibat atau akan terlibat dalam proses pembangunan.
Individu harus mempunyai keterampilan dan pengetahuan yang luas terutama terkait dengan ilmu-ilmu keIslaman dan diharapkan mampu untuk mengejewantahkan nilai-nilai pengetahuan keIslaman dalam kehidupan nyata, sehingga bisa memberikan kontribusi positif terhadap dirinya dan orang lain. (Munawir).
Wrihatnolo dan Didjowijoto (2007) mengemukakan proses pengembangan dan pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah proses berkelanjutan dan terencana, bukan proses instan.
Keduanya mempunyai fungsi strategis dalam membangun tiga tahapan pengembangan masyarakat yaitu:
1. Fasilitas penyadaran masyarakat agar lebih aktif berpartisipasi dalam pembangunan.
2. Motor penggerak dan motivasi masyarakat dalam pembangunan.
3. Sarana optimalisasi kemampuan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya lokal.
Dari sudut etimologi diketahui etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu Ethos atau ta etha yang bermakna kebiasaan atau adat istiadat.
Etika sering dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan tentang bagaimana manusia harus hidup dengan perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dijauhi. (Sonny, Keraf 2006).
Etika itu maliputi: bertanggung jawab, responsif, menjaga integritas moral, menghargai sesama, menghormati sesama, adil dan berjiwa demokratis, hidup sederhana, menjaga solidaritas.
Substansi Pemberdayaan Masyarakat
Istilah pemberdayaan” (empowerment) berasal dari kata “power” yang berarti kemampuan, tenaga, atau kekuasaan. Dengan demikian, secara harfiah, “pemberdayaan” dapat diartikan sebagai peningkatan kemampuan, tenaga, kekuatan, atau kekuasaan.
Pemberdayaan menurut bahasa berasal dari kata daya yang berarti tenaga/kekuatan, proses, cara, perbuatan memberdayakan. (Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2002).
Dalam Al Qur’an kata daya disebut sebagai al-Quwwah, dalam berbagai variannya disebut 33 kali (Muahammad Fuad al-Baqi’, t.t: 587-558).
Dalam bahasa Inggris disebut “empower” yang menurut Cornell University Empowerment Group dalam sleeby yang dikutip oleh Hatta Abdul Malik mengatakan bahwa pemberdayaan bermakna suatu proses yang disengaja dan berlangsung secara terus- menerus yang dipusatkan di dalam kehidupan komunitas lokal.
Yang meliputi saling menghormati sikap refleksi kritis, adanya kepedulian dan partisipasi kelompok, yang melalui masyarakat uyang merasa kurang memiliki secara bersama sumber-sumber yang berharga, menjadi memperoleh akses yang lebih besar untuk mendapatkan dan mengontrol sumber-sumber tersebut. (Hatta Abdul Malik, 2012).
Konsep pemberdayaan dikembangkan pertama kali pada tahun 1970-an yang bergulir dan mengalami berbagai penyesuaian. Konsep ini berasal dari pemikiran masyarakat Barat yang lahir karena adanya ketimpangan kekuasaan, dimana sebagian manusia sangat berkuasa terhadap sebagian lainnya. (homo homini lupus).
Menurut Priono dan Pranarka (1997),
Konsep yang lain secara substansi pemberdayaan dapat dimaknai pemberdayaan adalah realitas (aktivitas yang mempertemukan empat unsur kehidupan yaitu: tanah, air, udara dan api (panas) yang mempertemukan empat unsur kebudayaan: ekonomi, sosial, hukum dan politik.
Yang mempertemukan empat unsur sifat luhur (kepemimpinan) manusia yaitu cerdas, ikhlas, jujur dan tegas.
Yang mempertemukan empat unsur program pemberdayaan: lingkungan geografis (desa/kel dengan segala potensinya), masyarakat dan hak dasarnya, prinsip-prinsip program, dan visi pembangunan. (Agus Triantara, 2011: 163)
Pemberdayaan apapun asumsinya adalah menerima adanya kekuasaan sebagai faktor, dan membuat yang tidak berkuasa menjadi memiliki kekuasaan, yaitu yang powerless dlberi power melalui empowerment sehingga menjadi powerfull (Pranarka dalam Prijono dan Pranarka, 1996).
Dalam pengertian tersebut, Ife (1995: 62) menyimpulkan bahwa empowering is about increasing the power of the disadvantaged (pemberdayaan adalah mengenai peningkatan kekuatan dari kelemahan).
Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat
Menurut (Najiati, dkk, 2005: 54) Prinsip dasar yang menentukan suksesnya program untuk mewujudkan pemberdayaan masyarakat yang berdaya atau mandiri yaitu: kesetaraan, partisipatif, keswadayaan dan berkelanjutan.
Pemberdayaan masyarakat (community empowerment) adalah konsep pembanguan ekonomi yang merangkum nilai-nilai masyarakat untuk membangun paradigma baru dalam pembangunan yang bersifat people centered, participatory, empowerment and sustainable (Chamber).
Dari beberapa pengertian pemberdayaan diatas, dapat disimpulkan bahwa pemberdayaan suatu proses pemberian daya (power) berupa kesempatan atau peluang, pengetahuan, keahlian, dan materi, sehingga membuat yang tidak berdaya (powerless) menjadi memiliki kekuasaan (powerfull) atau membantu meningkatkan kemampuan, kapasitas, dan rasa percaya diri masyarakat agar mereka mempunyai daya kekuatan. (bersambung)