Kekuatan kader, haruslah jadi pionir
kemandiriannya, bukan menumpang pada kader lain dari struktur terluas pilar kebangsaan berdasarkan ketokohan pada ajang pilkada, apalagi harus menumpang pada opini-opini liar yang berkembang dimasyarakat.
Jika para pucuk pimpinan (di pusat) partai politik telah bergerak memakai kekuatan masing-masing entah itu sebagai ketua umum, sekjen dan lain-lain untuk merekrut kalangan luar partai tanpa memperhitungkan orang dalam partai, maka eksistensi partai tersebut harus dipertanyakan.
Langkah ini jika diambil partai, berarti partai tersebut telah berpikir melepas tanggung jawab terhadap apapun yang terjadi pada unsur pilar terluas yaitu masyarakat.
Baca Juga: Bincang Santai Dengan Gubernur Rusdy Mastura, Bahas Daya Saing Komoditi Pangan hingga IKN
Apalagi kepurusan partai tersebut adalah minoritas dalam masyarakat yang nantinya akan memerintah kalangan mayoritas. Hal ini sama sekali jauh dari tujuan keseimbangan NKRI yang dapat merusak tatanan secara prinsip dan ideal.
Dimana letak rasionalisasi kalau keluarga A, dipimpin dan diperintah oleh pimpinan keluarga B, padahal didalam keluarga A ada kepala keluarganya?
Alasan apapun yang dipakai, pasti salah, kalah dan siap terpinggirkanm Kecuali curang, dan kecurangan bukanlah muara sekaligus cara yang terstruktur sama dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai yang semua berazaskan Pancasila, UUD 45, atau berazaskan Islam.
Toleransi terhadap kecurangan politik bukanlah solusi berbangsa dan bernegara untuk kemajuan NKRI. Hati-hati menjalankan fungsi raja wahai para pimpinan partai politik.
Wallahu A'lam. (*)
Penulis adalah pemerhati politik, sosial masyarakat Sulawesi Tengah.