pendidikan

Kapan Shalat Idul Adha di Indonesia? Ini Penjelasan Direkur Sekolah Fiqih Ahmad Sarwat

Minggu, 3 Juli 2022 | 20:46 WIB
Direkur Sekolah Fiqih Ahmad Sarwat.

METROSULTENG-Umat muslim di Indonesia diminta tidak bimbang dan tetap menghargai perbedaan saat pelaksanaan sholat Idul Adha nanti, dimana Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Agama telah menetapkan Idul Adha 1443 Hijriyah jatuh pada 10 Juli 2022.

Penetapan tersebut disampaikan dalam Sidang Isbat Awal Dzulhijjah 1443 H yang digelar pada 29 Juni 2022.

Karena 1 Dzulhijjah 1443 H jatuh pada Jumat, 1 Juli 2022, maka Idul Adha 10 Dzulhijjah 1443 H jatuh pada Minggu, 10 Juli 2022.

Baca Juga: Masya Allah, 2 Pemuda Indonesia Pergi Haji Naik Sepeda dari Gorontalo, Disambut Haru Warga Arab

Penetapan Idul Adha 1443 H di Indonesia itu ternyata berbeda dengan Arab Saudi. Negitu juga Ormas Muhammadiyah yang telah menetapkan Idul Adha 1443 H jatuh pada Sabtu, 9 Juli 2022.

Lantas bagaimana kita umat Islam Indonesia mengambil rujukan. Berikut penjelasan Direkur Sekolah Fiqih Ahmad Sarwat yang sempat ia bagikan dilaman Facebooknhya.

Ahmad mengatakan, bahwa semua tergantung anda saat itu lagi ada dimana. Kalau Anda berada di Saudi, Mesir atau Inggris, silahkan kerjakan di hari Sabtu 9 Juli 2022


Tapi kalau Anda berada di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam bahkan Hongkong, kerjakannya di hari Ahad 10 Juli 2022.

Kok beda?

Jawabnya memang bisa beda, sejak zaman shahabat, ketika Islam mengembangkan sayap selebar-lebarnya di muka bumi, konsekuensi perbedaan hasil rukyat itu bisa diwujudkan oleh Sultan di masing-masing tempat.

Keputusan Khalifah Muawiyah di Damaskus berlaku untuk wilayah Damaskus. Sedangkan untuk Madinah, penguasa setempat berhak menetapkan hari yang berbeda.

Baca Juga: Ratusan Anak di Morowali Ikuti Sunatan Massal IMIP Bareng HMLT

Dan Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu menegaskan bahwa begitulah yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.

Kisah itu tertuang dalam hadits Shahih riwayat Imam Muslim.

عَنْ كُرَيْبٍ أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الحَرْثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ فَقَالَ: قَدِمْتُ الشَّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتَهَلَّ عَلىَ رَمَضَان وَأَنَا بِالشَّامِ فَرَأَيْتُ الهِلاَلَ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ . ثُمَّ قَدِمْتُ المَدِيْنَةَ فيِ آخِرِ الشَّهْرِ فَسَأَلَنيِ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبَّاس ثُمَّ ذَكَرَ الهِلاَلَ فَقَالَ: مَتىَ رَأَيْتُمُ الهِلاَلَ ؟ فَقُلْتُ : رَأَيْتُهُ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ. فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ ؟ فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النَّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ. قَالَ: لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ فَلاَ نَزَالُ نَصُوْمُ حَتىَّ نُكْمِلَ ثَلاَثِيْنَ يَوْمًا أَوْ نَرَاهُ. فَقُلْتُ: أَلاَ تَكْتَفيِ بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَة ؟ فَقَالَ لاَ هَكَذَا أَمَرَنَا النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ

Dari Kuraib radhiyallahuanhu bahwa Ummul Fadhl telah mengutusnya pergi ke Syam, Kuraib berkata, "Aku tiba di negeri Syam dan aku selesaikan tugasku, lalu datanglah hilal Ramadhan sementara aku di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jumat. Kemudian aku pulang ke Madinah di akhir bulan. Maka Abdullah bin Abbas bertanya padaku, "(Aku pun menceritakan tentang hilal di Syam). Ibnu Abbas ra bertanya, "Kapan kamu melihat hilal?". "Aku melihatnya malam Jumat", jawab Kuraib. Ibnu Abbas bertanya lagi, "Kamu melihatnya sendiri?". "Ya, orang-orang juga melihatnya dan mereka pun berpuasa, bahkan Mu'awiyah pun berpuasa", jawab Kuraib. Ibnu Abbas berkata, "Tetapi kami (di Madinah) melihat hilal malam Sabtu. Dan kami akan tetap berpuasa hingga 30 hari atau kami melihat hilal". Kuraib bertanya, "Tidakkan cukup dengan ru'yah Mu'awiyah?". Ibnu Abbas menjawab, "Tidak, demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kami.” (HR. Muslim)

Jadi kalau ada perbedaan penetapan tanggal antara berbagai negara Islam, memang harus diterima sebagai fakta sejarah. Bahkan itulah syariah Islam.

Ulama Kerajaan Saudi Arabia Syeikh Al-Ustaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam fatwanya :

وكذلك لو قدر أنه تأخرت الرؤية عن مكة وكان اليوم التاسع في مكة هو الثامن عندهم فإنهم يصومون يوم التاسع عندهم الموافق ليوم العاشر في مكة

Begitu juga bila ditetapkan hasil rukyat negara itu tertinggal dari Mekkah, sehingga tanggal 9 di Mekkah menjadi tanggal 8 di negara itu, maka penduduk negara itu puasanya pada tanggal 9 menurut negara itu, walaupun itu berarti sudah tanggal sudah tanggal 10 di Mekkah. (Majmu Fatawa Ibnu Utsaimin)

Fatwa dari Syeikh Utsaimin ini mungkin terasa aneh buat sebagian kita, yang sudah terlanjur ngotot ingin puasanya ikut jadwal pemerintah Saudi Arabia. Seolah-olah ada semacam pandangan yang ambigu dari sebagian kita. Kalau lebaran Idul Fithri kita ikut pemerintah RI, tapi kalau lebaran Idul Adha, kita ikut Saudi.***

Tags

Terkini