Pada periode Makkah, tidak ada syariat selain shalat lima waktu, sebab ibadah ini memiliki beberapa urgensi spesifik. Shalat diisyaratkan di malam Isra di tahun kesepuluh masa kenabian, sebagaimana yang dirujuk dari pendapat yang masyhur.
Syekh Yusuf al-Qardhawi menyebut bahwa setelah lima tahun atau lebih peristiwa tersebut terjadi, maka turunlah kewajiban berpuasa Ramadhan . Perintah ini turun pada tahun kedua Hijriyah.
Pada tahun ini pula jihad fî sabilillah diisyaratkan. Ketika Rasulullah wafat, umat Islam telah melalui Ramadhan sebanyak sembilan kali.
Selain itu, dalam bukunya Syekh Yusuf al-Qardhawi mengutip pendapat dari Ibnu al-Qayim dalam Zâd al-Ma’âd yang berkata:
“Memisahkan jiwa dari sesuatu yang telah menjadi kegemarannya dan telah menyatu dengannya adalah pekerjaan yang paling berat dan sulit, karenanya kewajiban puasa diakhirkan ke periode pertengahan, hingga setelah hijrah. Ketika telah tertanam kualitas tauhid, shalat, dan perintah-perintah Alquran dalam jiwa maka dia diarahkan untuk berpuasa secara bertahap.”
Sejatinya syariat puasa yang Allah SWT wajibkan bagi umat Islam, semata-mata untuk meraih tingkat ketakwaan yang sempurna. Isyarat ini sebagaimana yang tertulis dalam surat al-Baqarah ayat 183 sebelumnya.
Terlebih tradisi berpuasa bukanlah hal yang baru. Syariat-syariat yang diyakini dan dijalankan oleh umat terdahulu merupakan bentuh kasih sayang Allah SWT kepada hamba-Nya agar mampu menahan diri, mengendalikan syahwat hewani seperti makan, minum, dan kebutuhan seks serta menjauhi segala perbuatan dosa.
Hal tersebut penting dilakukan, sebab nafsu hewani kerap mengeksploitasi manusia, yang pada akhirnya semakin menjauhkan mereka dari kasih sayang pencipta.
Dalam konteks ini, puasa menjadi bekal agar seorang muslim mampu mengendalikan nafsunya. Wallahu’alam.***
Sumber: mui.or.id