Guru juga bertugas mengarahkan murid agar memanfaatkan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab, sekaligus membentuk kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan kolaboratif. Karena itu, guru dituntut terus belajar, meng-upgrade kemampuan digital, dan memadukan metode tradisional dengan teknologi modern.
Guru hebat bukan yang paling canggih menggunakan gawai, tetapi yang mampu menempatkan teknologi sebagai washilah (alat), bukan ghayyah (tujuan).
Sementara itu, Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Murid hari ini adalah generasi “digital native” yang lahir dan tumbuh di tengah internet, smartphone, dan media sosial. Mereka memiliki akses belajar yang luas dan cepat, namun tantangan yang dihadapi juga besar.
Mereka rentan terdistraksi atau terkontaminasi oleh konten hiburan. Mereka juga menghadapi kesulitan membedakan informasi benar dan hoaks, mudah terpengaruh budaya instan, dan sering kali belum memiliki keterampilan literasi digital maupun literasi data yang memadai.
Karena itu, murid perlu diberi ruang untuk berkembang tetapi tetap dibimbing dengan etika dan kontrol yang jelas. Mereka harus diarahkan menjadi pembelajar aktif, bukan hanya konsumen pengetahuan. Kemandirian belajar, kemampuan menyeleksi sumber, serta kemampuan mengelola waktu menjadi kompetensi penting yang harus diasah sejak dini.
Al-Qur’an telah mengingatkan umat Islam untuk melakukan seleksi dalam menerima informasi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنْ جَاۤءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَاٍ فَتَبَيَّنُوْٓا اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًاۢ بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلٰى مَا فَعَلْتُمْ نٰدِمِيْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu.” (QS Al-Hujurat: 6)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Pendidikan berbasis karakter harus tetap menjadi fondasi utama, karena kemajuan teknologi tanpa moralitas hanya akan melahirkan generasi yang cerdas tetapi rapuh secara mental dan moral. Pendidikan juga harus dibangun dengan kolaborasi kuat antara guru, murid, dan orang tua agar proses belajar lebih terarah dan terukur.
Keberhasilan pendidikan di era disrupsi terletak pada sinergi yang kuat antara guru dan murid dan elemen terkait seperti orang tua dan pemerintah. Era disrupsi bukanlah ancaman bagi dunia pendidikan, melainkan peluang besar untuk menciptakan ekosistem belajar yang lebih inovatif, humanis, dan relevan.
Selama guru tetap berkomitmen mendidik dengan hati dan murid terus belajar dengan tekun, pendidikan akan selalu menemukan jalannya menuju kemajuan.
Guru dan murid laksana orang tua dan anak sebagaimana hadits Rasulullah yang termaktub dalam Kitab Nushus Min At-Turats At-Tarbawi Al-Islami. Mari renungi penjelasan Syekh Fathi Hasan Malkawi ini:
قَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: (خَيْرُ الْآبَاءِ مَنْ عَلَّمَكَ). وَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: (إِنَّمَا الْمُعَلِّمُ أَبٌ لَكُمْ، مِثْلُ الوَالِدِ لِوَلَدِهِ).
Artinya: “Rasulullah SAW bersabda: Sebaik-baik orang tua adalah orang yang mengajari ilmu terhadap kalian. Juga sabda Rasulullah: Sesungguhnya guru itu adalah bapak kalian, sebagaimana orang tua terhadap anaknya.” Semoga pendidikan kita bisa benar-benar menghantarkan dunia menuju peradaban mulia yang tetap kuat dalam menghadapi perubahan zaman. Amin.