pendidikan

Istiqlal Membedah Tahajud Sang Aktivis

Senin, 6 Oktober 2025 | 18:10 WIB

METRO SULTENG— The Voice of Istiqlal (VOIST) kembali menghadirkan ruang intelektual dan spiritual melalui Bedah Novel “Tahajud Sang Aktivis” karya Pepi Al-Bayqunie, yang digelar di China Space VOIST, Masjid Istiqlal, Jakarta.

Kegiatan yang berlangsung sejak pukul 15.30 WIB ini menghadirkan Dr. H. Saprillah, M.Si., penulis dan Kepala Balai Litbang Kementerian Agama Makassar, sebagai pembicara utama.

Novel Tahajud Sang Aktivis menjadi refleksi mendalam tentang perjuangan spiritual dan sosial seorang aktivis Muslim di tengah pusaran zaman yang kian pragmatis.

Baca Juga: Putar Roda Ekonomi Masyarakat, Kredit Konsumer BRI Tumbuh Double Digit

Melalui narasi yang kontemplatif dan penuh nilai keislaman, Pepi Al-Bayqunie menggugah pembaca untuk memaknai ulang hubungan antara spiritualitas dan aktivisme sosial dua ranah yang seringkali dipisahkan dalam wacana publik modern.

Dr. Saprillah dalam paparan kritisnya menekankan bahwa novel ini bukan sekadar kisah fiksi, tetapi cermin dari kegelisahan generasi muda Muslim dalam mencari keseimbangan antara ibadah dan perjuangan sosial.

“Kita sedang menghadapi era di mana spiritualitas sering kehilangan konteks sosialnya. Novel ini mencoba mengembalikan makna ibadah yang tidak berhenti di sajadah, tetapi bergerak menuju perubahan masyarakat,” ujarnya di hadapan peserta.

Ia juga menegaskan pentingnya menghidupkan literasi religius yang mampu menggerakkan kesadaran sosial.

Baca Juga: Diduga Akibat Limbah Tambang Nikel, Petani Tambak di Morowali Merugi

Menurutnya, Tahajud Sang Aktivis adalah bentuk perlawanan terhadap banalitas kehidupan modern, sekaligus ajakan untuk kembali kepada nilai-nilai spiritual yang membumi.

Diskusi semakin hangat ketika Farid F. Saenong, Ph.D, Koordinator Staf Khusus Menteri Agama Republik Indonesia bidang Pendidikan, Organisasi Kemasyarakatan, dan Moderasi Beragama, memberikan tanggapan kritis.

Ia menilai bahwa novel ini relevan dengan misi besar Kementerian Agama dalam memperkuat moderasi beragama.

“Karya seperti ini menjadi penting karena ia menjembatani kesalehan pribadi dan tanggung jawab sosial. Dalam konteks moderasi beragama, ‘aktivisme tahajud’ yang ditawarkan novel ini adalah jalan tengah antara spiritualitas yang mendalam dan keterlibatan sosial yang nyata,” tegas Farid.

Baca Juga: Potret Petani Solonsa Jaya, Datang Bawa Yang Manis, Pulang Petik Yang Pedas

Lebih lanjut, ia menggarisbawahi bahwa karya sastra religius memiliki daya lentur untuk menyampaikan pesan moderasi dengan lebih humanis dan reflektif.

Halaman:

Tags

Terkini