pendidikan

Dakwah Digital: Tujuannya Merangkul, Bukan Memaksa

Minggu, 14 September 2025 | 11:19 WIB
Ilustrasi persahabatan yang saling merangkul. (FOTO: IST).

Oleh: Salihudin M. Awal, Warga Kota Palu

Pesan Prof. Dr. Zainal Abidin, Rais Suriah PB NU dan Ketua FKUB Sulawesi Tengah, memicu saya menulis artikel ini, mumpung masih dalam suasana maulid nabi. Dalam quote yang dikirim kepada saya beliau menulis : “Tugas seorang Nabi dan pewarisnya adalah berdakwah, bukan memaksa orang berpindah agama menjadi muslim.”

Kalimat ini simpel tapi menyimpan makna mendalam. Dakwah adalah ajakan, bukan paksaan; dialog, bukan monolog. Apalagi di era digital, pesan ini terasa semakin relevan.

***

Dalam tradisi Islam, dakwah adalah upaya menyampaikan kebenaran dengan penuh hikmah, kesabaran, dan kasih sayang. Al-Qur’an menegaskan: “Tidak ada paksaan dalam agama” (QS. Al-Baqarah: 256). Para nabi hadir untuk memberi teladan, bukan intimidasi. Karenanya, setiap pewaris tugas kenabian—baik ulama, intelektual, maupun umat biasa—harus memahami bahwa kekuatan dakwah bukan pada suara keras atau iming2 barang tetapi pada ketulusan dan akhlak mulia.

Di sinilah pesan Prof. Zainal menemukan konteksnya. Dakwah bukan sekadar ceramah, melainkan komunikasi yang menyentuh hati. Ia mengingatkan kita agar tidak terjebak pada obsesi “mengislamkan” orang lain, melainkan membumikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

***

Kini, dakwah telah merambah ruang-ruang baru: media sosial, YouTube, podcast, hingga aplikasi pesan singkat. Dakwah digital memungkinkan pesan kebaikan menjangkau jutaan orang tanpa batas ruang dan waktu.

Penelitian oleh Campbell & Tsuria (2021) dalam Digital Religion: Understanding Religious Practice in Digital Media menunjukkan bahwa agama di era digital bukan hanya dipindahkan ke ruang online, tetapi juga membentuk pola interaksi baru, di mana jamaah tidak lagi pasif, melainkan aktif merespons dan berdialog.

Fenomena ini membuka peluang sekaligus tantangan. Di satu sisi, dakwah digital bisa lebih inklusif, melampaui sekat geografis. Namun di sisi lain, ia rentan tergelincir menjadi konten provokatif atau sensasional demi mengejar “klik” dan “view”.

***

Dakwah digital seharusnya menjadi ruang perjumpaan, bukan ruang penghakiman. Misalnya, ketika seorang ustaz berdialog di TikTok tentang kesehatan mental atau keuangan keluarga, itu menjadi pintu dakwah yang ramah. Ia tidak melulu berbicara soal ritual, tapi juga soal kehidupan sehari-hari.

Seperti diingatkan Hoover & Echchaibi (2012) dalam riset Media and Religion: Foundations of an Emerging Field, media modern memberi peluang agama untuk tampil sebagai sumber makna, bukan hanya doktrin. Inilah wajah dakwah digital yang sejalan dengan pesan Prof. Zainal: berdakwah tanpa memaksa, merangkul tanpa menghakimi.

***

Namun ada catatan penting: dakwah digital harus menjaga etika. Penyampaian harus berbasis data, literasi agama yang kuat, dan disampaikan dengan akhlak.

Halaman:

Tags

Terkini