Menurut Al-Attas (1993), inti pendidikan Islam adalah adab—menempatkan sesuatu pada tempatnya. Artinya, dakwah digital harus menempatkan manusia sebagai subjek yang dihormati, bukan objek yang ditaklukkan.
***
Di bulan Maulid ini, refleksi atas dakwah Nabi menjadi begitu berarti. Nabi Muhammad SAW berdakwah dengan kelembutan, bukan paksaan. Kini, kita ditantang untuk menghidupkan semangat itu di ruang digital. Dakwah bukan lagi sekadar mengisi mimbar masjid, tetapi juga ruang-ruang virtual yang kini menjadi bagian dari kehidupan kita.
Maka benar kata Prof. Zainal Abidin: tugas kita bukan memaksa orang memeluk Islam, tetapi menghadirkan wajah Islam yang ramah, menyejukkan, dan relevan dengan zaman. Dakwah digital haruslah menjadi cahaya yang menerangi, bukan bara yang membakar. (*)
Referensi:
- Campbell, H. A., & Tsuria, R. (2021). Digital Religion: Understanding Religious Practice in Digital Media. Routledge.
- Hoover, S., & Echchaibi, N. (2012). Media and Religion: Foundations of an Emerging Field. Routledge.
- Al-Attas, S. M. N. (1993). Islam and Secularism. ISTAC.