pendidikan

Prabowo, Gajah Dan PSI Baru

Selasa, 22 Juli 2025 | 06:45 WIB
Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si

METRO SULTENG-Di hutan, ada hewan yang jika bergerak tak pernah terburu-buru, namun selalu tahu ke mana harus melangkah. Ia tak haus dominasi, namun disegani seluruh penghuni hutan. Suaranya tak pernah memekik keras, tapi setiap jejaknya mampu mengguncang bumi. Dialah gajah.

Dan di hadapan ribuan kader PSI yang memadati Kota Solo yang tak lama sebelumnya berganti simbol, Presiden Prabowo Subianto mengucapkan satu kalimat sederhana namun sarat makna: “Saya paling menyayangi gajah.”

Mungkin perubahan logo PSI, menjadi dasar perubahan cara gerak PSI. PSI yang selama kita tahu, sangat lincah dan sangat terkesan terburu-buru, mulai berubah dan bermetamorfosis menjadi gajah.

Baca Juga: Mentan Andi Amran Sulaiman Warning Pengusaha Beras Nakal, Ingatkan Satgas Pangan Bakal Pantau Sampai Daerah

Bagi telinga yang terbiasa mendengar politik sebagai panggung pencitraan, kalimat presiden mungkin terdengar sebagai candaan. Tapi bagi mereka yang mengerti bahasa kepemimpinan dan sejarah, itu adalah sabda. Ia bicara tentang kekuatan yang tak perlu sorotan, tentang kekuasaan yang bukan menindas, melainkan menopang.

Mata Prabowo kemudian tertuju pada spanduk besar bertuliskan “PSI”. Ia menunduk sejenak, suaranya bergetar pelan. “Saya sedikit emosional...” katanya. Di situlah, ingatan tentang sang ayah menyeruak.

Soemitro Djojohadikusumo, ekonom besar bangsa ini, pernah memimpin Partai Sosialis Indonesia, juga disingkat PSI, sebuah partai progresif yang berdiri pada 1948. Inilah rumah para pemikir besar seperti Sutan Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, dan tentu, Soemitro sendiri.

PSI versi lama bukan sekadar partai politik; ia adalah perlawanan intelektual terhadap korupsi dan otoritarianisme. Dikenal karena sikap anti-korupsi yang tajam dan keberanian membela demokrasi parlementer, PSI lama dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada 1960 karena dianggap terlalu kritis terhadap kekuasaan.

Baca Juga: Sebutan Serakahnomics Oleh Prabowo, Tunggu Tanggal Mainnya!

Menjadi bagian dari PSI kala itu berarti siap dituduh, disingkirkan, bahkan dibungkam, asal tak tunduk pada kezaliman. Dan itulah jejak sejarah yang membuat suara Prabowo bergetar hari itu.

Kini nama itu bangkit kembali dalam wujud berbeda: Partai Solidaritas Indonesia. Dengan semangat baru, wajah muda, dan satu simbol yang mencuri perhatian: seekor gajah berkepala merah. Tapi lambang itu bukan sekadar desain grafis. Ia adalah pesan. Dalam filosofi Jawa dan India kuno, gajah adalah lambang keteguhan, kesabaran, dan kekuasaan yang tak melukai. Ia tenang, tetapi ketika bergerak, tidak ada yang mampu menahan.


Ketika PSI baru memilih gajah sebagai lambang, respons Prabowo bukan basa-basi. Ia bercerita, tanpa naskah, tanpa skrip, bagaimana dirinya memutuskan mengalihkan 90 ribu hektare lahan konsesi industri di Aceh menjadi kawasan konservasi gajah.

Awalnya hanya 20 ribu hektare. Tapi setelah menerima surat dari Raja Charles III dan mendengar suara hatinya, Prabowo bertindak. Bukan untuk pencitraan. Tapi karena ia tahu: memimpin adalah menjaga, bukan menguasai. Memimpin adalah tahu kapan harus melindungi mereka yang tak bisa bersuara.

Namun di sela-sela haru itu, Prabowo juga mengirim pesan keras kepada zaman. “Banyak orang merasa pintar... lebih tahu dari saya,” ujarnya. Sebuah sindiran telak bagi generasi yang mengira pengaruh datang dari konten, bukan konsistensi.

Di negeri ini, terlalu banyak yang merasa cukup dengan kamera, podcast, dan koneksi internet, lalu menyebut dirinya pemikir. Mereka menjual narasi “Indonesia gelap”, padahal yang gelap bukan negerinya, melainkan niat di balik narasinya.

Halaman:

Tags

Terkini