Dengan kata lain, Kunto menilai, kecenderungan mengandalkan influencer justru bisa memperkeruh keadaan, bukan menyelesaikan persoalan publik.
Pejabat Jadi Komunikator Lewat Media
Kritik juga datang dari Nyarwi Ahmad Pengamat Politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menekankan pejabat publik lah yang seharusnya menjadi komunikator utama, bukan influencer.
“Semestinya para pejabat publik dan pemimpin institusi politiklah yang menjadi influencer dalam mengkomunikasikan kebijakan publik.” ungkap Nyarwi dalam pernyataannya yang dikutip pada hari yang sama.
Baca Juga: Gaji Anggota DPR RI 2025 Serta Tunjangan Sangat Fantastis
“Kalau politisi bergantung pada influencer, ini tidak menunjukkan kemajuan demokrasi,” imbuhnya.
Berkaca dari itu, pesan para pakar komunikasi hingga akademisi ini menunjukkan Presiden Prabowo harus mengambil alih panggung komunikasi publik melalui media massa, bukan menyerahkannya pada pihak ketiga seperti influencer.
Media Massa Dinilai Lebih Kredibel
Dalam kesempatan berbeda, Ketua Asosiasi Media Konvergensi Indonesia (AMKI) Jawa Tengah, Samsul Arifin pernah menegaskan media massa adalah sarana komunikasi paling efektif.
“Media itu rumah besar rakyat. Kalau Presiden ingin menenangkan masyarakat, jangan terlalu mengandalkan influencer, tapi perbanyaklah komunikasi lewat media massa,” ujar Samsul kepada wartawan, pada Senin, 1 September 2025.
Samsul menambahkan, komunikasi lewat jurnalis lebih aman karena melalui proses verifikasi, berbeda dengan influencer yang hanya berfokus pada konten viral.
Media Bikin Rakyat Tenang
Sebagai Ketua AMKI Jawa Tengah, Samsul juga menilai kehadiran Presiden di media bisa menumbuhkan kepercayaan publik dan mengurangi kesalahpahaman.
“Kalau Presiden sering tampil lewat media, rakyat merasa dilibatkan. Itu penting untuk menjaga legitimasi kepemimpinan nasional,” tegasnya.
Pandangan ini sejalan dengan analis politik, Hendri Satrio atau akrab disapa Hensa yang menyebut media massa dapat membuat masyarakat lebih tenang.