Khutbah Jumat Tema Jadilah Pemilih Yang Cerdas untuk Melahirkan Pemilu Berkualitas Yang Menentukan Arah Bangsa Menjadi Lebih Baik

photo author
- Kamis, 11 Januari 2024 | 05:04 WIB
Ilustrasi Pemilu. (Ist)
Ilustrasi Pemilu. (Ist)

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian berkhianat kepada Allah dan RasulNya, dan janganlah berkhianat atas amanat seraya kamu mengetahuinya.” Sejalan dengan ini, Imam al-Ghazali (505 H) dalam kitab al-Tibr al-Masbuk fi Nashiah al-Muluk memberikan rumusan bahwa untuk mewujudkan kepemimpinan yang amanah dan adil, maka seorang pemimpin harus memahami hakikat dari kedudukan kekuasaannya (qadr al-wilayah). Dalam uraiannya, Imam al-Ghazali menandaskan bahwa kekuasaan ataupun jabatan di samping mempunyai nilai ibadah yang besar, ia juga mempunyai potensi untuk menggelincirkan seseorang dalam kenistaan.

Ibarat dua sisi sebilah belati, jika tidak hati-hati menggunakannya, ia akan melukai pemiliknya sendiri. Sedangkan dari sisi positifnya, kekuasaan jika dilaksanakan dengan tanggung jawab, maka ia dapat menjadi perantara untuk mendapatkan ridha dari Allah swt, hal ini sebagaimana terdapat dalam hadits riwayat Imam al-Tirmidzi (209-279 H):

عَنْ أَبِي سَعِيْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ إن أَحَبَّ النَّاسِ إِلَى الله يَوْمَ القِيَامَةِ وَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ عَادِلٌ وَأَبْغَضَ النَّاسِ إِلَى الله وَأَبْعَدَهُمْ مِنْهُ مَجْلِسًا إِمَامٌ جَائِرٌ (رواه الترمذي)


Artinya: "Dari Abi Sa’id ra Rasulullah saw berkata: “Sesungguhnya manusia yang paling dicintai Allah di hari kiamat dan paling dekat tempat duduknya denganNya adalah imam yang adil, dan manusia yang paling dibenci oleh Allah dan paling jauh tempat duduknya denganNya adalah imam yang zalim.” (H.R. al-Tirmidzi) Ancaman bagi penguasa yang zalim juga diperkuat dengan hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ثَلاَثَةٌ لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الشَّيْخُ الزَّانِي وَالْإِمَامُ الْكَذَّابُ وَالْعَائِلُ الْمَزْهُوُّ

Artinya: "Dari Abi Hurairah ra Rasulullah saw berkata: “Tiga orang yang tidak akan mendapatkan rahmat dari Allah di hari Kiamat ialah orang tua yang berzina, imam yang berdusta, dan orang yang miskin lagi sombong.” (H.R. Ibnu Hibban) Dalam tataran praktis, prinsip amanah dalam memegang kekuasaan dapat diejawantahkan dalam berbagai bentuk aksi kerja nyata. Baik dimulai dari tahap proses mendapatkan, menggunakan, ataupun mempertahankannya.

Seorang Muslim yang berpastisipasi aktif, semisal sebagai kontestan, harus selalu mawas dan sadar diri apakah dia layak menjadi pemimpin dan wakil rakyat atau tidak. Apakah ia mempunyai integritas dan kapabilitas untuk menunaikan amanah tersebut atau tidak.

Tidak berlebihan jika Imam al-Mawardi (364-450 H) dalam kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah sangat selektif dalam menetapkan syarat-syarat ahli halli wa al’aqdi (semacam dewan perwakilan/parlementer).

Seseorang berhak duduk di dalamnya jika mempunyai karakter al-‘adalah (kredibel), al-‘ilm (kualitas keilmuan), dan al-ra’yi dan al-hikmah (visioner dan bijak). Cerminan karakter ini akan tampak dalam tahap mendapatkan kekuasaan, semisal ia tidak menghalalkan segala cara. Berani berkata "tidak!" pada kecurangan, black campaign, maupun money politic. Ketika terpilih nantinya, ia bekerja dengan penuh integritas, begitu pula ia tidak bertindak tiran dan otoriter untuk mempertahankan kekuasaannya.

Dalam konteks sekarang, guna mewujudkan pemilu yang jujur dan adil, merupakan sebuah prasyarat jika para calon yang dipilih maupun masyarakat sebagai pemilih harus mempunyai komitmen yang kuat dan tulus terhadap prinsip-prinsip mendasar ini.

Dari sudut inilah, relevansi Islam sebagai sumber basis moral, harus mampu dibuktikan oleh umat Islam sendiri.

Hadirin jamaah Jumat yang dimuliakan Allah swt.

Partisipasi umat Islam dalam pemilu juga dapat diperankan dengan menjadi pemilih yang cerdas. Dalam artian, pemilih yang cerdas ialah pemilih yang mampu menyalurkan suaranya pada calon-calon yang diyakini memiliki integritas, moralitas, dan kredibilitas. Pemilih yang cerdas tidak mudah untuk dimobilisasi maupun dibeli hak suaranya.

Terkait dengan hal ini, setidaknya ada dua problem mendasar yang dihadapi oleh suksesi kepemimpinan di Indonesia. Pertama, masih sangat marak terjadi jual beli suara atau money politic.

Kedua, tidak sedikit adanya upaya dari sebagian kalangan yang dengan sengaja melakukan politisasi agama. Tidak dapat dimungkiri bahwa salah satu penyebab mahalnya biaya demokrasi di Indonesia ialah maraknya money politic. Ibarat mata rantai yang saling terjalin, transaksional suara terjalin antara pemilih dan yang dipilih. Praktik ini hampir menggejala di semua lapisan masyarakat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Subandi Arya

Tags

Rekomendasi

Terkini

X