Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
“Lompat Jendela”, dan bisa dimaknai proses memperoleh sesuatu minim pertimbangan standar semestinya, seperti knowledge, skill dan attitude. Boleh dibilang hal ini telah menjadi kebiasaan yang mengarah sebagai budaya di negeri berkode komunikasi seluler + 62 ini.
Fenomena ini terlihat pada sejumlah proses. Seperti diangkat jadi pegawai, pengisian jabatan eselon. Dan lebih parah lagi sudah menular ke lembaga penyelenggra pendidikan di hampir semua tingkatan. Ini bisa diindikasikan semakin banyak pimpinan perguruan tinggi yang berhadapan dengan kasus hukum.
Baca Juga: REDESAIN INDUSTRIALISASI UDANG
Padahal lembaga yang notabenenya sebagai “pabrik SDM” ini, diharapkan mampu melahirkan SDM yang berdaya saing guna memanfaatkan sumberdaya alam yang melimpah seperti produksi di sektor pangan, energi dan tambang serta pariwisata.
Karena itu, wajar saja kalau nilai PDB, Produk Domestik Bruto per kapita di negeri ini sulit naik, bertengger pada angka 4 ribuan US dolar, dan tertinggal dari negara tetangga. Muaranya angka kemiskinan, pengangguran dan angka stunting negeri ini tergolong tinggi.
Tak hanya sampai disitu. Dalam proses penyelenggaraan negara terkait hajat hidup orang banyak juga terimbas oleh budaya itu. Menang tender pada project pemerintah, tawar menawar membayar pajak, praktek kriminalisasi dan mafia kasus, juga ikut meramaikan budaya lompat jendela itu.
Perangkat desa tidak mau tertinggal dengan budaya lompat jendela. Sudah banyak kepala desa yang berhadapan dengan hukum, karena terlibat dalam menyelewengkan bantuan dana desa yang lumayan besarnya antara 1 dan 1,5 miliyar rupiah dan trendnya makin lama makin masif.
Penyelenggaraan pesta demokrasi di negeri ini seperti Pileg, Pilpres, Pilkada serta Pilkades, dinilai ikut “memupuk” tumbuh dan suburnya budaya lompat jendela itu. Mengembalikan modal dan utang balas budi menjadi alasan utama pemenang kontestasi, ketika ditanyakan tentang maraknya budaya itu. Tidak heran banyak ka daerah dan angleg ikut terseret pelanggaran hukum.
Baca Juga: UDANG 2 JUTA TON : Sebaiknya Prioritaskan Perbaikan Genetik, Sistem Budidaya dan Hilirisasi
Ditengarai sejumlah kalangan, bahwa attitude, perilaku SDM menjadi salah satu biang kerok terhadap makin subur dam masifnya praktek budaya lompat jendela itu. Ini bisa terjadi karena ada kesepahaman dan kesepakatan antara subjek dan objek dengan syarat tertentu yang tidak tertulis, dan terlihat semakin menjadi jadi. Kompetensi bukan lagi menjadi bahan pertimbangan utama.
Jika sudah seperti itu, maka bagaimana strategi budaya lompat jendela tersebut bisa dikikis. Dan ini bukanlah perkara mudah, karena kondisinya sudah cukup parah terstruktur, sistematis, dan masif dari pusat hingga pemerintahan paling depan, yaitu Desa.
Membangun komitmen untuk mengikis budaya “lompat jendela” menjadi poin penting. Komitmen yang ditunjukkan oleh penyelenggara negara dalam hal penegakan hukum mulai ada perbaikan namun masih perlu ditingkatkan karena masih banyak kelemahan yang tersisa.
Peran masyarkat sebagai sosial kontrol melalui media sosial juga makin berani dan harus diarahkan dan didukung agar penyelenggara negara juga semakin ber hati hati dalam menjalankan tupoksinya terkuaknya sejumlah penyimpangan oleh penyelenggara negara yang telah berlangsung lama, itu karena kontribusi masyarakat melalui medsos kemudian direspon oleh penegak hukum.
Jangka panjang, pembenahan sistem pendidikan mulai tingkat dasar hingga tinggi menjadi poin yang tidak kalah pentingnya. Karena disinilah dasar dari pembentukan attitude, knowledge dan skill yang harus dibangun dan dibentuk secara berimbang agar bisa melahirkan SDM yang berdaya saing.