كانَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَصُومُ حتَّى نَقُولَ: لا يُفْطِرُ، ويُفْطِرُ حتَّى نَقُولَ: لا يَصُومُ، فَما رَأَيْتُ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إلَّا رَمَضَانَ، وما رَأَيْتُهُ أكْثَرَ صِيَامًا منه في شَعْبَانَ
Artinya: "Rasulullah saw kerap berpuasa sampai kami berkata: “Rasulullah masih berpuasa.” Dan Rasulullah kerap tetap tidak berpuasa sampai kami berkata, “Rasulullah sedang tidak puasa.” Kami tidak pernah melihat
Rasulullah berpuasa di seluruh hari di satu bulan kecuali di bulan Ramadan. Dan saya melihat Rasulullah paling banyak berpuasa (sunnah, tapi tidak seluruhnya) di bulan Sya’ban." Dari kedua hadits terkait dengan berpuasa di bulan Sya’ban, kita bisa mendapatkan kesan bahwa bulan Sya’ban adalah bulan yang akan mengantarkan kita kepada bulan Ramadan dengan berbagai keutamaan.
Esensi keutamaan tersebut diwujudkan dalam praktik Rasulullah sendiri, melalui pernyataan beliau bahwa bulan Sya’ban adalah bulan di mana amal ibadah manusia oleh para Malaikat dihadapkan di sisi Allah swt.
Dan karena amal diangkat ke sisi Tuhan pada bulan Sya’ban, maka Rasulullah menginginkan agar momen diangkatnya amal ibadah tersebut dalam kondisi beliau sedang mengerjakan kebaikan (tathawwu’), maka beliau mengisinya dengan berpuasa.
Hadirin sidang Jumat yang berbahagia,
Kita tentu boleh bertanya sebagai muslim, tentu Rasulullah adalah Nabi yang sepanjang hidupnya tentu tidak ada maksiat dalam aktivitasnya. Lalu mengapa Rasulullah masih memperbanyak amalan sunnah seperti puasa di bulan Sya’ban, padahal beliau bahkan disebutkan sebagai sosok yang ma’shum?
Pertanyaan kedua adalah, soal momen diangkatnya amalan di bulan tertentu, dalam hal ini bulan Sya’ban. Sebagaimana ada pada hadits lain, disebutkan amal kita diangkat oleh Malaikat setiap hari Senin dan Kamis, juga di waktu menjelang fajar.
Pertanyaannya, mengapa ada harus ada momen-momen khusus ini? Mungkin yang bisa menjadi jawaban dari kedua pertanyaan tersebut adalah, Rasulullah sedang mencontohkan atau menegaskan kepada setiap Muslim untuk memperbanyak aktivitas amalan yang baik dalam segi apapun.
Para ulama juga menggambarkan, bahwa ditunjukkannya amal di sisi Allah pada waktu-waktu tertentu hakikatnya justru kembali kepada diri kita sendiri.
Hal ini dijadikan momen agar manusia banyak bersiap atau menghiasi aktivitas dengan memperbanyak kebaikan, apalagi jika nanti sudah memasuki bulan Ramadan.
Kebaikan seperti memperbanyak puasa sunnah ini pun, oleh Nabi diletakkan secara proporsional. Ini dikarenakan di masa Nabi, banyak sahabat yang semangat melakukan kesalehan seperti berpuasa sepanjang tahun, tapi tubuhnya menjadi lemah.
Rasulullah saw kemudian menggambarkan kalau sesuatu itu ada hak dan proporsinya. Allah Berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللّٰهُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَا
Artinya: "Allah tidak membebani seseorang, kecuali menurut kesanggupannya." (QS Al-Baqarah: 286) Akhirnya, marilah kita menjadikan bulan Sya’ban ini sebagai wahana kita memperbanyak kebaikan dan amal ibadah sesuai dengan proporsi.