Oleh : Hasanuddin Atjo, Ketua SCI Sulawesi
KOMODITI udang menjadi salah satu primadona di sektor kelautan dan Perikanan. Pasalnya komoditi ini sejak lama menjadi sumber devisa, sumber pendapatan masyarakat pesisir dan menyerap tenaga kerja pada sejumlah industri prosesing.
Di tahun 2021 produksi komoditi ini sekitar 900 ribu ton(KKP,2021) dan volume ekspor sekitar 250 ribu ton dengan devisa mendekati $US 2,2 milyar. Nilai ini hampir separuh dari total devisa ekspor hasil perikanan yaitu $US 5,7 milyar.
Karena itu, dalam RPJMN. tahun 2019 - 2024 revitalisasi tambak udang dan bandeng menjadi salah satu major project kabinet Jokowi . Dan melalui kementrian Kelautan dan Perikanan, KKP ditargetkan peningkatan produksi naupun nilai sebesar 250 persen.
Memasuki tahun ke 3 dari RPJMN ini, target peningkatan produksi dan nilai berjalan seret karena di akhir tahun 2021 produksi hanya naik sekitar 100.000 ton dan nilai sekitar $ US 0,2 milyar, masih jauh dari yang ditargetkan di akhir tahun 2024 sebesar 2 juta ton.
Laju investasi yang rendah, kasus gagal panen, terbatasnya produk olahan nilai tambah, dan lemahnya daya serap pasar domestik serta ribetnya mekanisme perizinan yang masih sering diikuti oleh tindakan kriminalisasi, ditengarai menjadi pemicu seretnya realisasi target itu.
Baca Juga: Tebar Padati, Tumbuh Cepat & Pasar Lokal Strategi Siasati Harga Udang
Ditambah lagi dengan rendahnya efisiensi bisnis ini, karena kontent impor dan logistic cost yang tinggi. Input produksi dan industri hilirnya umumnya berada di pulau Jawa sementara sentra budidaya di luar Jawa jadi pelengkap rendahnya daya saing.
Dan tidak kalah pentingnya bahwa mutu udang Indonesia lebih rendah dibanding tiga kompetitornya. Hal ini antara lain disebabkan rantai tataniaganya yang panjang. Bisa sampai 5 hari baru tiba di pabrik untuk diproses lebih lanjut.
Penanganan pascapanen dinilai tidak memenuhi standar mutu yang seharusnya. Bahkan udang dengan sengaja diperlambat tiba di pabrik debgan harapan meningkatkan retensi air ke tubuh udang yang berharap naiknya size dan volume sebagai keuntungan pengepul.
Memasuki triwulan 4, tahun 2022 harga udang dalam negeri anjlok tajam, utamanya berukuran besar, karena Indonesia kalah bersaing dengan Ekuador, India maupun Vietnam, mengisi pasar Amerika Serikat, AS. Ketiga kompetitor itu ternyata lebih efisien dalam sistem budidaya.
Ongkos produksi budidaya udang Ekuador lebih murah 10 ribu rupiah dan India sekitar 6 ribu rupiah dari Indonesia. Padat penebaran yang lebih rendah 15 - 20 ekor per meter bujur sangkar menjadi salah satu sebab rendahnya ongkos produksi tersebut, selain yang telah disebut diatas.
Di pasar AS, Indonesia kalah dalam size besar, namun unggul diproduk nilai tambah, dari udang berukuran kecil seperti udang kupas, cooke dan udang yang dibalut tepung roti atau breeded. Kebutuhan pasar AS untuk produk olahan sekitar 40 persen dari sekitar 1 juta ton.
Keunggulan Indonesia disebabkan oleh ketersediaan tenaga kerja dan upah kerja yang murah. Hanya saja produktifitas kerja lebih rendah. Ini tentunya juga menjadi tantangan tersendiri untuk pengembangan di masa akan datang, karena bisa saja digantikan oleh mesin.