ekonomi

Wisata Cagar Alam Morowali Utara Merupakan Aquarium Flora dan Fauna di Indonesia

Sabtu, 8 Oktober 2022 | 14:52 WIB
Kawasan cagar alam Morowali Utara (Foto : dok Meriba Suade)

KAWASAN Cagar Alam Morowali adalah cagar alam yang terletak di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Dalam pembagian administratif, Cagar Alam Morowali masuk dalam wilayah 3 Kecamatan, yaitu  Kecamatan Soyo Jaya, Kecamatan Bungku Utara dan Kecamatan Mamosalato.

Luas kawasan Cagar Alam ini adalah 209.400 H berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 237/KPTS-II/1998 tanggal 27 April 1999. Bila berkeliling, keseluruhan Cagar Alam ini bisa mencapai 265,84 Km.

Cagar Alam Morowali merupakan aquarium alam flora dan fauna yang menggiurkan bagi para peneliti dari dalam dan luar negeri. Beberapa spesies flora seperti Jenis anggrek Sulawesi yakni, Gramatophylum Stapelliforum, Bulbophylum, Cymbidium, Dendrobium sp, serta beberapa jenis Pandanus sp yang menghiasi kawasan ini.

Wisatawan dari mancanegara saat berkunjung ke cagar alam Morowali Utara
Sedangkan jenis fauna yang pernah ada dan masih ditemukan adalah Babi Rusa, Musang Sulawesi, Kuskus, Varanus, Anoa Sulawesi, dan Macaca Tongkeana. Untuk jenis unggas pengunjung masih bisa melihat burung Maleo, Pecuk Ular, Itik Sulawesi, Cangak Merah, Elang Laut, dan beberapa jenis burung Hantu Sulawesi. Bahkan dari hasil penemuan peneliti dalam dan luar negeri pernah menemukan jenis kelelawar yang terkecil di dunia.

Berdasarkan informasi dan data ilmiah tersebut diatas, tidaklah mengherankan mengapa tim Operation Drake dari Inggris pada fase ke 7 memilih Cagar Alam Morowali sebagai pusat penelitian mereka. Sebagaimana diketahui Operation Drake adalah ekspedisi ilmiah untuk mengenang kembali pelayaran yang dilakukan Sir Francis Drake. Ekspedisi ini dilakukan antara tahun 1970 –1980 di bawah koordinasi berbagai instansi kelembagaan Inggris antara lain, Scientific Exploration Society, Explore Clubs, dan Royal Scottish Geographical Society.

Ekspedisi ini bertujuan untuk melakukan berbagai penelitian biodiversity dan memberi pengalaman bagi kaum generasi muda. Selain penelitian flora dan fauna di kawasan ini, tim ekspedisi juga meneliti aspek social ekonomi masyarakat yang mendiami suaka alam tersebut.

Dari uraian Penulis di atas, berdasarkan informasi yang dapat dipercaya baik dari sisi sejarah dan ilmiah dijelaskan bahwa Cagar Alam Morowali sudah di kenal di mancanegara sejak tahun 1970-an.

Meriba Suade saat mendampingi wisatawan asing berkunjung di cagar alam (Foto : dok. Meriba Suade)
Merujuk kepada judul lomba pelatihan jurnalistik dan penulisan pariwisata Morowali Utara yang dilaksanakan pada tanggal 15 September 2022 lalu, bertema “Mari Viralkan Keunggulan Pariwisata Morowali Utara,” yang dibuka oleh Bupati Morowali Utara, maka Penulis mengambil Judul “Wisata Cagar Alam Morowali Utara Merupakan Aquarium Flora dan Fauna di Indonesia” yang menurut penulis merupakan salah satu destinasi wisata unggulan wisata alam minat khusus. Beberapa alasan penulis mengambil judul ini, yaitu :

  1. Sejak Penulis menginjakkan kaki pertama kali pada Tahun 1996 bersama wisatawan mancanegara ternyata kawasan ini menyimpan banyak keindahan alam hutan tropis flora dan fauna serta keramahan Suku Taa yang menyambut kehadiran kami saat itu. Berdasarkan pengalaman penulis setelah beberapa kali mengadakan wisata trekking bersama wisatawan mancanegara di kawasan cagar alam merupakan medan yang sangat cocok bagi para wisatawan domestik dan mancanegara yang menyukai tantangan dan senang dengan keanekaragaman hayatinya.
  2. Penulis ingin menghidupkan kembali kegiatan minat khusus yang menantang ini bagi para wisatawan domestik dan mancanegara. Untuk itu penulis sangat mengapresiasi para pegiat Pariwisata dan Komunitas pencinta alam Morowali Utara yang kembali mengadakan beberapa kegiatan wisata alam setelah Covid-19 melanda negeri kita.
  3. Penulis ingin mengenalkan kepada wisatawan mancanegara yang belum pernah ke Cagar Alam Morowali dan melihat potensi flora dan fauna serta kehidupan masyarakat Suku Taa yang masih memegang tradisi mereka.
  4. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam kawasan dan luar kawasan Cagar Alam Morowali, dengan melibatkan mereka dalam setiap kegiatan wisata alam.
  5. Mendukung kegiatan konservasi untuk mejaga keseimbangan alam dengan tidak mengadakan perburuan fauna endemik dan meminimalisir kegiatan penebangan hutan.   

Aksesibiltas menuju Kawasan Cagar Alam Morowali 

Pada saat penulis memasuki kawasan Cagar Alam Morowali sekitar tahun 1996-2017 umumnya melalui kota Kolonedale dengan menyewa perahu motor  yang saat itu seharga  Rp. 350.000 untuk pergi pulang. Harga tersebut terus naik seiring kenaikan bbm dan kebutuhan pokok lainnya hingga sekarang menurut informasi sudah mencapai Rp. 3.000.000, bahkan kemungkinan lebih dari angka tersebut untuk pergi-pulang.

Kepala Suku Taa melatih wisatawan menggunakan senjata tradisional suku Taa yang terbuat dari bambu yang dinamakan Soput (Sumpit) (Foto : dok. Meriba Suade)
Lama perjalanan dengan perahu motor sekitar 2 jam menyeberangi Teluk Tomori dengan disuguhi keindahan gugusan Gunung Teletabis, Batu Payung, Cap Tapak Tangan Raja, dan perkampungan suku Bajo.

Setibanya dititik pertemuan dengan masyarakat Suku Taa, kami dijemput oleh para porter yang sudah kami hubungi beberapa bulan sebelumnya lewat bantuan mitra kerja yang ada di kota Kolonedale saat itu. Kami memulai perjalanan trekking menyusuri tepi sungai Pokekea dengan ditemani pemandu local dan porter berpengalaman.

Makan siang kami lakukan di sekitar Pokekea, daerah ini juga merupakan daerah penyebaran burung Maleo salah satu burung endemic Sulawesi. Perjalanan kami lanjutkan ke kampung Marisa. Lama perjalanan kami tempuh kurang lebih 6 jam berjalan kaki untuk tiba di perkampungan Marisa.

Di perkampungan tersebut, Penulis bersama wisatawan mancanegara menginap di rumah Kepala Suku Taa (Nama Kepala Sukunya adalah Ngkai Jima). Mereka menyambut hangat dan ramah akan kedatangan kami. Kebersamaan menjadi lebih hangat lagi pada saat menikmati makan malam ala Suku Taa, sambil menikmati indahnya suara alunan music tradisional mereka. Keesokan harinya kami melakukan kegiatan menangkap ikan dengan alat tradisional.

Sore hari bersama keluarga Kepala Suku Taa, mereka melatih wisatawan menggunakan senjata tradisional suku Taa yang terbuat dari bambu yang dinamakan Soput (Sumpit). Keesokan harinya setelah menginap 2 malam, kami melanjutkan perjalanan trekking ke kampong Kayupoli. Perjalanan kami tempuh sekitar 7 jam melalui hutan tropis yang padat dan padang savana. Di perkampungan tersebut kami juga menginap di rumah keluarga Suku Taa yang bermukim di tepi sungai Morowali.

Halaman:

Tags

Terkini