METRO SULTENG – Dua perusahaan pengolahan mineral di kawasan Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yakni PT QMB New Energy Material dan Huayue Nickel Cobalt (HYNC), memelopori langkah konkret dalam mendorong transisi energi menuju sistem yang lebih ramah lingkungan. Melalui pemanfaatan teknologi pembangkit listrik alternatif berbasis co-generation dan sistem efisiensi energi, keduanya berupaya mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, khususnya batubara, yang selama ini digunakan oleh pembangkit listrik mandiri (captive power plant).
Langkah ini sejalan dengan target Pemerintah Indonesia untuk mencapai net zero emission pada 2060. Industri pengolahan mineral, yang kerap disorot karena dampak lingkungannya, kini mulai menyesuaikan diri dengan arah kebijakan tersebut melalui berbagai inovasi energi bersih.
Teknologi Co-Generation QMB, Efisiensi Energi Capai 98,4 Persen
Wakil Deputi Manager PT QMB, Yan Xiadong, mengungkapkan bahwa sejak 2023 perusahaannya telah mengembangkan sistem pembangkit listrik co-generation yang terintegrasi dengan pabrik asam sulfat dan turbin generator. Proyek ini digagas oleh Prof. Xu Kaihua, pendiri General Environmental Material (GEM), sebagai bentuk nyata dari prinsip "Sumber Daya Terbatas, Daur Ulang Tak Terbatas".
Baca Juga: Kades Ipi Bangun Kanopi di PAUD TK Negeri 3 Bungku Tengah, Dukung Kenyamanan Anak Didik
Berbeda dengan pembangkit konvensional yang membuang limbah panas, sistem co-generation justru memanfaatkan panas tersebut untuk keperluan lain seperti pemanasan, pendinginan, hingga proses industri. Efisiensi energi pun meningkat tajam hingga 98,4 persen, serta mampu menekan emisi karbon secara signifikan dan mengurangi ketergantungan terhadap listrik konvensional hingga 70 persen.
"Dengan teknologi ini, uap limbah di fasilitas kami kini mampu memenuhi 70 persen kebutuhan listrik pabrik secara mandiri," ujar Yan Xiadong.
HYNC: Integrasi Energi Panas dan Daur Ulang Air Produksi
Langkah serupa juga dilakukan oleh PT Huayue Nickel Cobalt (HYNC). Direktur External HYNC, Stevanus, menyebut bahwa sistem co-generation di perusahaannya menggunakan uap panas bertekanan tinggi dari pabrik asam sulfat yang terintegrasi dengan fasilitas High Pressure Acid Leach (HPAL). Energi tersebut digunakan untuk memenuhi sekitar 70 persen kebutuhan listrik operasional pabrik.
Baca Juga: Gubernur Sulteng Siapkan Penataan Manajemen Baru BUMD
Selain itu, HYNC juga menerapkan sistem daur ulang air berbasis closed-loop water system. Air hujan ditampung melalui sistem rainwater harvesting dan diproses menggunakan filter khusus, sedangkan air limbah dari proses HPAL digunakan kembali untuk mencuci bijih nikel. Inovasi ini mampu menekan penggunaan air bersih dan mengurangi limbah cair hingga 1,05 juta metrik ton.
Energi Surya Jadi Strategi Lanjutan
Inisiatif transisi energi juga mulai diikuti oleh tenant lain di kawasan IMIP. PT Dexin Steel Indonesia (DSI) tengah merancang pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dengan kapasitas 65 Megawatt. Sementara itu, PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) juga merencanakan PLTS untuk menopang kebutuhan daya hingga 350 Megawatt.
Langkah-langkah ini memperkuat posisi kawasan IMIP sebagai pusat industri yang tidak hanya produktif, tetapi juga berorientasi pada keberlanjutan lingkungan. (*)