METRO SULTENG-Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) menangkap Kepala Dinas (Kadis) Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumatera Utara (Sumut), Topan Obaja Putra Ginting (TOP), dalam kegiatan operasi tangkap tangan (OTT) pada Kamis (26/6/2025), lalu TOP diumumkan sebagai tersangka pada Sabtu (28/6/2025).
TOP merupakan Kadis pertama yang dilantik oleh Wakil Gubernur Sumut, Surya pada Senin (24/2/2025) yang terjaring OTT KPK RI. Karir moncer TOP yang sering disebut “anak emas”, “bestie”, “ketua kelas” dari Gubernur Sumut, Bobby Afif Nasution (BAN), terjun bebas, ambruk dan berakhir dengan tangan diborgol dan rompi oranye bertuliskan “Tahanan KPK”.
Namun sebagai “teman dekat” TOP, BAN justru menyatakan dengan tegas bahwa Pemprov Sumut tidak akan memberi bantuan hukum kepada TOP pada Senin (30/6/2025). Bahkan BAN pun menyamakan TOP dengan Ilyas Sitorus (IS), Kadis Kominfo Pemprov Sumut dan Zumri Sulthony (ZS), Kadis Kebudayaan, Parwisata dan Ekonomi Kreatif yang sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan Kejaksaan RI (bukan OTT KPK RI).
Baca Juga: Netanyahu Keracunan Makanan, Kondisinya Kini Disorot di Tengah Desakan Hentikan Agresi ke Palestina
Tidak lama berselang pasca OTT dan penetapan tersangka oleh KPK RI tersebut, tiba- tiba Pemprov Sumut mengeluarkan imbauan melalui Surat Edaran Nomor 200.1.2.2/5677/2025 tertanggal (30/6/2025), lima bulan, sepuluh hari pasca terbitnya Surat Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Nomor B-32/KSN/S/TU.00/01/2025 tertanggal (20/1/2025) perihal Pemberitahuan untuk Memperdengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
Surat Edaran Pemprov Sumut tersebut dikeluarkan dua hari setelah Pemprov Sumut diguncang kasus korupsi yang melibatkan “kadis utama” BAN. Pemprov Sumut sepertinya mengeluarkan jurus jitu dengan memperdengarkan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan pembacaan teks Pancasila di tengah badai korupsi yang kembali mengguncang Sumut. Pemprov Sumut diduga ingin mengalihkan perhatian warga Sumut, agar tidak tersedot pada pemberitaan korupsi, dengan mengeluarkan imbauan sakral dan patriotik: Menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan Pembacaan Teks Pancasila setiap hari kerja Pukul 10.00 WIB.
Berdasarkan UU No.24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, pada Bagian Kedua, Penggunaan Lagu Kebangsaan, Pasal 59, ayat (1) Lagu Kebangsaan wajib diperdengarkan dan/atau dinyanyikan: a. untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil Presiden; b.
untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara; c. dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah; d. dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah; e. untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi; f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional; dan g.
dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia. Kemudian ayat (2) Lagu Kebangsaan dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan: a. sebagai pernyataan rasa kebangsaan; b. dalam rangkaian program pendidikan dan pengajaran; c. dalam acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi, partai politik, dan kelompok masyarakat lain; dan/atau d. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni internasional.
Kementerian Sekretaris Negara dan Pemprov Sumut menjadikan Pasal 59, Ayat (2) UU No.24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, yakni Lagu Kebangsaan dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, pada butir (a). sebagai pernyataan rasa kebangsaan, sebagai dasar penerbitan surat edaran tersebut.
Ironisnya enam belas tahun setelah terbitnya UU No.24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, perilaku korupsi tidak pernah berkurang. Korupsi justru dilakukan orang- orang yang berulang kali dilantik dengan sumpah atau janji sebagai pejabat negara/ daerah, dimana Lagu Kebangsaan Indonesia Raya selalu diperdengarkan/dinyanyikan.
Pejabat yang kerap menjadi inspektur/ pemimpin upacara di instansi masing- masing justru menjadi pelaku tindak pidana korupsi, baik sendiri, maupun bersama- sama.
Koruptor adalah musuh bersama dan musuh negara, karena merusak negara secara terstruktur sistematis, dan massif (TSM), serta mengakibatkan rakyat banyak kehilangan haknya. Maka tidak ada relevansi imbauan Menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya setiap pukul 10.00 WIB di setiap hari kerja di seluruh instansi pemerintah, swasta, dan organisasi kemasyarakatan untuk mengubah perilaku busuk dan buruk para koruptor.
Rasa Kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Ayat (2) UU No.24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan, yakni Lagu Kebangsaan dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, pada butir (a). sebagai pernyataan rasa kebangsaan, tidak akan tumbuh dengan memperdengarkan/menyanyikannya setiap pukul 10.00 WIB setiap hari kerja di seluruh instansi pemerintah, swasta, dan organisasi kemasyarakatan.
Negara kita tidak kekurangan intensitas dalam menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya sehingga harus diedarkan imbauan oleh Kementerian Sekeretaris Negara dan diteruskan oleh kepala daerah. Para pejabat negara, daerah, aparatur sipil negara (ASN) sepertinya kurang sering diperdengarkan lagu- lagu seperti “Hari Kiamat, Black Brothers”, “Tuhan, Bimbo”, “Bongkar, Iwan Fals”, “Tobat Maksiat, Wali”, dan “Dengan NafasMu, Ungu”, serta lagu- lagu perenungan lainnya, sehingga tidak pernah takut melakukan korupsi.