Akhirnya, Abu Nawas bangkit dari duduknya. Dengan tajam satu persatu para pejabat istana ditatap wajahnya.
Lalu ia berkata: ‘’Wahai Khalifah yang adil dan bijaksana. Pantas negeri ini kacau dan terus melarat rakyatnya. Karena pejabat-pejabatnya semua penjilat dan penipu semuanya. Mereka mengatakan melihat surga di dalam peci saya. Padahal faktanya sebenarnya tidak ada. Mereka telah berdusta untuk menutupi kesalahannya”.
“Semua terjadi karena mereka merasa bersalah dan telah mengkhianati kepercayaan yang telah diberikan oleh paduka yang mulia. Mereka takut kepada bayangannya sendiri, bayangan kepalsuan dan keculasan mereka’’ ujarnya lagi.
Baca Juga: Alami Kejadian Tidak Mengenakkan di Bandung, Ahmad Ali: Jangan Intimidatif!
Barangkali cerita diatas mirip dengan fenomena yang terjadi di lembaga kita. Dimana muncul kebijakan yang sesunggguhnya merugikan lembaga Alkhairaat tersebut, tapi dibilangnya untuk kepentingan Abna dan Lembaga Alkhairaat juga.
Dalam posisi seperti di atas, kiranya akan sangat bijak kalau seorang Ketua Utama berkenan untuk melihat dengan hati nuraninya sendiri dan mempertanyakan urgensi yang sebenarnya: apakah memang demi kepentingan Abna atau lembaga? Atau ada kepentingan yang terselubung yang telah disepakati antar pembisik dan yang diberi keuntungan?
Kalau diibaratkan kebijakan yang aneh tersebut sebagai sebuah peci yang diproduksi oleh orang-orang di lingkar terdekatnya, maka ada baiknya melihat sendiri pecinya. Bukan sekadar memerintahkan orang-orang dekatnya untuk membantu melihatnya.
Melihat dalam hal ini bisa dengan cara mengkaji kebijakan itu melalui orang kepercayaannya yang independent dan terjaga kredibilitasnya. Sehingga pada akhirnya nanti, bisa menghasilkan kebijakan yang benar-benar untuk kepentingan Abna dan Lembaga Alkhairaat.
Wallahu a’lam bish shawaab. ***