METRO SULTENG – Keberadaan jalan lingkar Bora - Pandere di Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, diproyeksikan menjadi jalan alternatif poros Palu - Kulawi. Jalan dengan panjang 22,6 kilometer ini diyakini dapat mengurai kemacetan di Sigi di masa mendatang.
Alih-alih menjadi solusi jangka panjang dan menjadi proyek prestisius, pembukaan jalan lingkar justru masih menyisakan masalah. Ternyata masih ada warga pemilik lahan menuntut ganti rugi yang hingga kini belum diselesaikan.
Proyek jalan lingkar yang menghubungkan Desa Bora - Kecamatan Sigi Kota dengan Desa Pandere - Kecamatan Gumbasa, berdampak pada lahan dan puluhan pohon kelapa milik warga Dusun 4 Saluponi, Desa Pandere.
Baca Juga: Sejumlah Pedagang Ikan Pasar Simpong di Banggai Minta Penjual Ikan di Jalan Ditertibkan
Warga mengeluhkan tanah mereka yang digusur tanpa adanya ganti rugi dari Pemerintah Kabupaten Sigi.
Pembangunan jalan lingkar Bora - Pandere sudah dimulai sebelum gempa 28 September 2018. Saat itu sempat terhenti akibat bencana alam dahsyat tersebut.
Rizal Badawi, salah satu pemilik lahan Dusun 4 Saluponi, Pendere, mengungkapkan sekitar 900 meter tanah miliknya beserta puluhan pohon kelapa, ikut digusur tanpa ganti rugi untuk kepentingan pembukaan jalan lingkar.
“Sampai sekarang, kami tidak pernah menerima ganti rugi, baik untuk tanah maupun pohon kelapa yang digusur sejak pembukaan lahan tahun 2018,” kata Rizal ditemui di Dusun Saluponi, Desa Pandere, Selasa (29/4/2025).
Baca Juga: Curhat Gubernur Sulteng ke Komisi II: Smelter Nyumbang Triliunan, Daerah Cuma Kebagian Miliaran
Keluarganya bahkan tidak pernah diundang dalam sosialisasi pembukaan jalan tersebut.
“Pemerintah Desa Pandere maupun pihak terkait lainnyaz tidak pernah memanggil kami untuk sosialisasi pembukaan lahan. Tiba-tiba saja langsung gusur,” ujarnya.
Rizal mempertanyakan, apakah proyek pembangunan jalan lingkar Bora - Pandere memang tidak menyediakan ganti rugi, meskipun secara nyata merampas hak warga.
“Hak kami digusur semena-mena. Kami sudah berulang kali menyuarakan ini, tapi sampai sekarang belum ada kejelasannya,” tambahnya.
Ironisnya, Rizal menyebut hingga kini mereka masih tetap membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk tanah tersebut.
Adiknya, Nuriadin Badawi, menambahkan bahwa tanah dan pohon kelapa yang digusur merupakan warisan dari orang tua mereka yang telah dikelola puluhan tahun.