pendidikan

Simalakama AI Untuk Media Massa

Senin, 29 September 2025 | 21:49 WIB
Agus Sudibyo

Di era link economy (sebelum ledakan AI), pengguna terpola untuk mencari konten di mesin pencarian atau feed media sosial. Lalu pengguna mengklik artikel atau tautan yang ditemukan di sana. Waktu baca terjadi di situs yang diklik pengguna, dan dari situlah pendapatan iklan, berlangganan, atau sponsorship mengalir ke publisher. Ledakan AI generatif lalu membawa kita era answer economy. Pada era ini, pencarian pengguna diselesaikan secara langsung oleh mesin pencarian lewat AI overview (ringkasan jawaban).

Pertanyaan pengguna juga dijawab dan didialogkan langsung oleh ChatGPT dengan menyertakan link-link sumbernya. Ketika kebutuhan informatif praktis tercukupi di sana, semakin kecil dorongan bagi pengguna untuk meng-klik ke sumber asli, katakanlah website media.

Ketidakadilan lalu terjadi di sini. Di satu sisi, media massa menanggung biaya untuk peliputan lapangan, wawancara, verifikasi, pencarian data, penyuntingan, dan desain visual.

Di sisi lain, pengembang AI memanfaatkan konten milik media massa yang lahir dari proses tersebut secara “cuma-cuma”. Di satu sisi, media massa semakin kehilangan nilai ekonomi dari konten jurnalistik yang dihasilkannya, di sisi lain pengembang AI menguasai nilai ekonomi yang bersandar pada pemanfaatan konten jurnalistik itu.

Belum adanya kewajiban universal pengembang model AI untuk membayar biaya produksi konten yang telah mereka gunakan untuk melatih model AI, maka pemanfaatan konten dimaksimalkan oleh platform pengembang AI, sementara biaya penciptaan konten tetap menjadi beban si pembuat konten. Sekali lagi, inilah inti incentive misalignment: hasil di satu pihak, biaya di pihak yang lain.

Apa yang mesti dilakukan dalam hal ini?

Eksistensi media massa hari ini sangat tergantung pada kemampuan pengelolanya untuk membangun dan menerapkan sistem pelacakan konten orisinal yang diekstraksi dan dimanfaatkan secara sepihak, katakanlah oleh pengembang AI generatif.

Hasil pelacakan itu mesti digunakan untuk memaksa platform digital memberi kompensasi proporsional atas konten jurnalistik yang mereka rekayasa untuk pelatihan model AI. Regulasi Publisher Right harus dimaksimalkan di sini. Hal yang tak kalah penting adalah membangun kemandirian relatif media massa terhadap platform digital.

Lalu lintas distribusi konten yang dulu terkonsolidasi pada Google Search atau Facebook atau Instagram, kini telah terfragmentasi ke aplikasi chatbot, platform video pendek, dan agregator berbasis AI. Ini artinya, monetisasi konten melalui mesin pencarian dan media sosial telah tergoyahkan dan tidak bisa menjadi sandaran satu-satunya.

Inilah saatnya bagi media massa untuk kembali kepada prinsip-prinsip direct sales dan direct traffic, yakni mengelola khalayak dan rekanan bisnisnya secara relatif mandiri, tanpa sepenuhnya tergantung pada campur-tangan pihak eksternal.***

Penulis : Agus Sudibyo, Ketua Bidang Pendidikan PWI Pusat

Halaman:

Tags

Terkini