Sampai di sini, Google dan Meta telah berkontribusi menciptakan filter untuk menjaga kualitas konten yang beredar di jagat maya. Konten orisinal tiba-tiba menjadi “paradigma” dan media massa seperti menemukan jalan kembali ke khittah sebagai penyedia informasi yang bernilai dan terpercaya.
Baca Juga: Bakteri Pembusuk di Balik Tragedi MBG: Insiden Keracunan Massal Siswa KBB yang di Luar Nalar
Persoalannya kemudian, apakah periklanan digital juga telah berubah semakin mengapresiasi konten orisinil? Inilah masalah peliknya. Sistem periklanan digital sejauh ini masih bertumpu pada metrik kuantitatif: trafik, impressions, click-through rate (CTR), dan durasi keterpaparan (dwell time). Artinya, meskipun Google dan Meta telah mengafirmasi konten berkualitas melalui E-E-A-T dan prinsip meaningfulness, insentif finansial di ekosistem periklanan umumnya masih memprioritaskan skala distribusi konten, alih-alih kedalaman atau kebermaknaan konten.
Media massa yang kembali fokus mengejar kualitas konten tetap menghadapi kesulitan monetisasi, sementara para peternak konten klikbait tetap bisa memproduksi ribuan konten untuk menguasai inventori iklan.
Inkonsistensi ini menimbulkan kegamangan para pengelola media massa. Di satu sisi mereka harus menyesuaikan dengan algoritma distribusi konten yang menuntut peningkatan orisinalitas konten, di sisi lain mereka menghadapi fakta bahwa konten orisinal tetap sulit dimonetisasi.
Jika tetap tidak ada insentif yang memadai untuk konten orisional, mereka bisa jadi tergoda untuk kembali mengintensifkan produksi konten yang sensasional, clickbait, dengan nilai informasi yang rendah. Padahal distribusi konten yang demikian juga ini telah dibatasi oleh perubahan algoritma seperti dijelaskan di atas.
Baca Juga: Bupati Morut Tutup HUT ke-118 Desa Lembobelala Sekaligus Resmikan Rumah Adat Mori
Jika pengutamaan konten orisinal ternyata tidak serta merta menguntungkan media massa, apa sesungguhnya motif Google dan Meta sebagai sponsor utamanya? Tanpa mengesampingkan dampak positifnya, pengutamaan konten orisinal sesungguhnya lebih mencerminkan strategi kedua raksasa teknologi itu untuk mempertahankan kepentingan bisnis di tengah ledakan konten buatan AI generatif.
Mereka berupaya untuk membangun citra sebagai penopang ruang publik digital yang beradab, menjaga agar pengguna tetap menghabiskan waktu lebih lama di platform mereka sehingga peluang penayangan iklan tetap tinggi, mempertahankan minat pengiklan premium yang ingin beriklan di lingkungan konten yang aman dan kredibel, serta megantsipasi peningkatan biaya storage dan computing akibat membanjirnya konten sintetis berkualitas rendah.
Di saat yang sama, mereka sesungguhnya ingin mengamankan suplai materi berkualitas tinggi untuk melatih model AI yang lebih cerdas. Dengan demikian, kebijakan pengutamaan konten orisinal itu lebih mencerminkan strategi platform digital untuk mempertahankan reputasi dan kendali atas pasar periklanan, sekaligus untuk melakukan dataveillance secara gratis tetapi berkualitas. Dukungan terhadap kepentingan media massa dalam hal ini lebih merupakan efek samping, bukan tujuan utama yang disengajakan.
Ketidakselarasan Insentif
Proses dataveillance itu melahirkan simalakama berikutnya untuk industri media massa. Singkat kata, semua platform digital, termasuk Google dan Meta, sesungguhnya tengah mengembangkan model AI generatif dan AI prediktif mereka sendiri. Untuk itu, mereka membutuhkan data corpus pelatihan model AI yang relevan, berkualitas, dan buatan manusia (bukan mesin).
Baca Juga: Pengurus Antar Waktu DPC PP PAUD Banggai Resmi Dilantik
Jika ruang digital dibanjiri konten spam atau konten sintetis buatan AI, data corpus pelatihan model AI terkontaminasi (data poisoning) sehingga model AI yang dihasilkan juga menurun kualitasnya. Dengan kata lain, penerapan sistem E-E-A-T dan prinsip Meaningful, Informative, Accurate sesungguhnya untuk membersihkan pasokan data untuk pipeline pelatihan model AI. Platform digital ibaratnya sedang menjala “nutrisi bergizi gratis” yang membuat produk AI generatif atau prediktif mereka semakin sehat dan cemerlang.
Yang terjadi kemudian adalah ketidakselarasan insentif (incentive misalignment) antara media massa dan platform pengembang model AI. Konten jurnalistik berkualitas menjadi “nutrisi bergizi tinggi” penopang kecerdasan AI, tetapi manfaat ekonomi dari AI tersebut tidak kembali kepada media massa sebagai pembuat konten, alih-alih dikuasai oleh sang pengembang model AI.