Klasifikasi ini memang mendapat kritik, tetapi menunjukkan bahwa keberagaman itu nyata dan dapat dijelaskan secara sosiologis.
Baca Juga: Culture Change, Modal Dasar Perbaikan Tata Kelola Birokrasi Bagi Terwujudnya Program 9 BERANI
Dalam ranah epistemologis, Al-Qur'an sebagai teks ilahiyah adalah tetap, namun penafsiran atasnya bersifat dinamis. Karena itu, Islam berkembang menjadi mazhab-mazhab fiqih, aliran teologi, dan orientasi pemikiran yang beragam.
Seperti diungkap oleh Fazlur Rahman, pemikir Islam modern dari Pakistan, "Islam is one, but its interpretations are plural due to historical and intellectual factors."
Fazlur Rahman menekankan pentingnya double movement theory, yaitu gerak ganda dari teks menuju konteks dan kembali ke prinsip-prinsip etika dasar.
Dengan demikian, keberagaman bukanlah penyimpangan, tetapi keniscayaan dalam upaya memahami teks ilahiyah dalam lintas ruang dan waktu.
Islam tidak memandang keberagaman sebagai ancaman. Dalam Al-Qur’an (Al-Hujurat: 13) ditegaskan: "Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal."
Baca Juga: Garis Tegas Perjuangan Kami bagi Guru Habib Idrus bin Salim Al Djufrie, Sang Guru Tua
Ayat ini meneguhkan bahwa pluralitas adalah ciptaan Tuhan, bukan deviasi dari kesatuan.
Karen Armstrong, penulis dan sejarawan agama, menyatakan dalam bukunya "The Battle for God" bahwa agama-agama besar, termasuk Islam, memiliki kecenderungan untuk berevolusi dalam lintas sejarah yang berbeda, tetapi tetap menjaga nilai-nilai spiritualitas yang mendalam.
Ia menulis, "The essence of religion is not in uniformity but in the pursuit of the sacred." Maka, keanekaragaman dalam Islam sejatinya adalah bentuk pencarian akan nilai-nilai luhur yg terkandung dalam ajaran ilahiyah.
***
Pandangan Prof. Dr. Zainal Abidin yg juga Ketua MUI Kota Palu ini bukan sekadar refleksi pribadi, tetapi sebuah ajakan untuk melihat realitas keislaman dengan lebih arif. Islam memang satu dari sisi sumber dan nilai-nilainya, tetapi ketika bersentuhan dengan dunia manusia yang kompleks dan plural, ia menjadi beragam.
Baca Juga: Anwar Hafid: Guru Tua, Maha Guru yang Harus Dicontoh
Keberagaman ini bukan kelemahan, tetapi kekayaan. Asalkan dijaga dalam koridor nilai utama Islam—tauhid, keadilan, kasih sayang, dan kemaslahatan—keberagaman akan menjadi rahmat, bukan sumber konflik.
Dalam konteks dakwah dan kehidupan beragama, tugas kita bukan menghapus keberagaman, tetapi menuntun keberagaman itu menuju titik temu (kalimatun sawwa) yang memuliakan semua.