pendidikan

Khutbah Jumat Akhir Ramadhan Tema Kewajiban Zakat Fitrah dan Makna Yang Terkandung Didalamnya

Rabu, 26 Maret 2025 | 21:03 WIB
Zakat menurut Islam


وَأَقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتُواْ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ


Artinya: Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.

Dalam ayat ini, jelas disebutkan bahwa ibadah zakat merupakan sebuah perintah. Sebagai makhluk dan hamba, perintah yang diberikan Allah menunjukkan sebuah kewajiban yang wajib dipatuhi dan dikerjakan.

Jika menjalankan shalat adalah kewajiban yang memiliki dimensi vertikal yakni sebuah kepatuhan untuk memenuhi hak Allah SWT dengan menyembah-Nya, maka kewajiban zakat memiliki dua dimensi ibadah. Selain dimensi vertikal sebagai kewajiban kepada Allah, zakat juga memiliki dimensi horizontal dalam bentuk memberikan harta yang dimiliki karena di dalamnya terdapat hak-hak orang lain.


Dalam menunaikannya, zakat juga bukan sekadar memberikan bagian harta dan setelah itu selesai kewajiban kita. Namun di situ terdapat aturan dalam pengeluarannya dan sudah ditentukan besaran harta yang harus dikeluarkan. Ini lah kemudian yang menjadikan zakat disebut masuk dalam kategori ibadah maliyah atau ibadah kehartaan.


Hadirin Jamaah Jumat yang Mulia

Dalam kitab Ihya ‘Ulumiddin, Imam al-Ghazali menjelaskan 3 hakikat makna dan tujuan dari kewajiban berzakat. Pertama, mengeluarkan zakat mampu menjadi wujud totalitas kecintaan kita kepada Allah SWT. Totalitas dalam mencintai akan memunculkan komitmen kuat untuk tidak akan menduakan yang dicintai. Keterkaitan dengan ke-Esa-an Allah, maka zakat akan semakin menyempurnakan keimanan untuk tidak akan menduakan Allah dan menguatkan bahwa Dia lah satu-satunya yak berhak untuk disembah. Dan perhatikan ayat berikut ini:


قُلْ هُوَ اللّٰهُ اَحَدٌۚ اَللّٰهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْۙ وَلَمْ يَكُنْ لَّهٗ كُفُوًا اَحَدٌ


Artinya: Katakanlah (Muhammad): Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat meminta segala sesuatu. (Allah) tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada sesuatu yang setara dengan Dia. (QS Al-Ikhlas: 1-4)


Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa semakin tinggi derajat manusia di sisi Allah maka akan semakin besar rasa cinta kepada Allah. Ketika cinta sudah kuat, maka ia akan rela untuk memberikan apa yang dicintainya untuk jalan menuju Allah SWT, termasuk harta yang merupakan materi paling digandrungi dan dicintai oleh manusia ketika hidup di dunia. Sehingga esensi dari zakat adalah melepaskan hal yang dicintai untuk mengukuhkan ketauhidan kepada Allah SWT.


Jamaah Jumat Rahimakumullah

Hakikat zakat kedua menurut Imam al-Ghazali adalah sebagai ikhtiar untuk membersihkan diri dari berbagai sifat negatif khususnya sifat kikir atau pelit. Sifat buruk ini bisa diobati dengan membiasakan diri membantu orang lain dengan harta yang kita miliki, khususnya melalui zakat. Imam al-Ghazali pun menarasikannya dengan kalimat: “Kecintaan terhadap sesuatu, hanya bisa diobati dengan cara memaksa untuk berpisah darinya, sampai menjadi sebuah kebiasaan.”


Kita juga sebenarnya tak perlu khawatir jika ketika memberikan harta kepada orang lain kemudian harta kita akan berkurang. Pada hakikatnya, orang yang memberikan hartanya untuk hal-hal yang diperintahkan oleh Allah akan dilipat gandakan lebih dari yang diberikan.


Terkait hal ini, Allah SWT telah menegaskan sebagai berikut:


مَثَلُ الَّذِيْنَ يُنْفِقُوْنَ اَمْوَالَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ اَنْۢبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِيْ كُلِّ سُنْۢبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللّٰهُ يُضٰعِفُ لِمَنْ يَّشَاۤءُ ۗوَاللّٰهُ وَاسِعٌ عَلِيْمٌ

Halaman:

Tags

Terkini