pendidikan

Terlanjur Terima Uang Politik, Apa Yang Harus Dilakukan Si Penerima Dalam Hukum Islam

Jumat, 9 Februari 2024 | 05:05 WIB
Ilustrasi suap. Mantan kepala atr bpn lebak ajukan banding (Ist)

METRO SULTENG-Sebentar lagi rakyat Indonesia menggelar pesta demokrasi lima tahunan atau Pemillihan Umum (Pemilu) pada 14 Februari 2024. Rakyat bakal memilih wakilnya di DPR Kabupaten, kota, propinsi hingga pusat sekaligus kepala negara atau Presiden.

Dalam praktek setiap Pemilu rakyat selalu disuguhi pratek kotor berupa suap politik uang untuk membeli suara rakyat. Praktek ini bukan rahasia lagi. Bernagai perangkat hukum telah dbuat untuk menjerat para pelaku politik uang ini, namun mereka tak jera dan memiliki banyak cara terselubung untuk melalukan politik uang.

Dalam pandangan Islam, sebenarnya telah jelas lewat fatwa MUI, NU melalui bahtsul masailnya dan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjihnya, demikian pula para kiai dan ustadz secara pribadi, menyatakan bahwa politik uang termasuk perbuatan haram, disamakan dengan riswah, diharamkan bagi pemberi dan penerimanya.

Demikian juga dari aspek hukum positif, politik uang dilarang dan masuk tindak pidana. Sebagaimana diatur dalam Pasal 523 ayat (1) sampai dengan ayat (3) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, dengan sanksi pidana berupa kurungan penjara selama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta bagi pemberi dan penerimanya.

Namun sudah menjadi rahasia umum jika setiap penyelenggaraan Pemilu baik tingkat nasional maupun tingkat daerah masih dikotori dengan politik uang.

Ironisnya persoalannya politik uang itu disukai dan dianggap hal yang lumrah oleh masyarakat dan calon dalam praktek pelaksanaan pemilu.

Dengan demikian harus dikemanakan uang yang sudah terlanjur diterima? Berikut penjelasannya.

Dalam kacamata fiqih uang yang diperoleh dari politik uang disamakan dengan risywah hukumnya haram.

Kemudian setelah jelas keharamannya maka bagi yang sudah terlanjur menerimanya tidak dapat memiliki dan menasarufkannya, melainkan harus mengembalikannya.

Berikut urutannya sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Majmu’ Syarhul Muhaddzab seperti dilansir dari NU online:

Mengembalikan kepada pemilik atau wakilnya. Jika sudah meninggal maka menyerahkannya kepada ahli warisnya. Jika pemiliknya tidak diketahui maka hendaknya dialokasikan untuk kemaslahatan umum.

Disedekahkan kepada fakir miskin. Adapun yang mengalokasinnya bukan dirinya sendiri melainkan qadhi.

Jika qadhi tidak dapat dipercaya, maka diserahkan kepada orang yang dianggap cakap dalam urusan agama.

Jika tidak juga ditemukan, maka baru ia dapat mengalokasikannya sendiri.

Perlu diketahui harta haram yang diberikan kepada fakir statusnya menjadi halal.

Yang menarik, jika ternyata penerima juga seorang fakir, maka ia boleh mengalokasikan untuk dirinya dan keluarganya sendiri.

Halaman:

Tags

Terkini