Kedua, prinsip solidaritas. Manusia adalah bagian integral dari alam semesta. Lebih dari itu, dalam perspektif ekosentrisme, manusia mempunyai kedudukan sederajat dan setara dengan alam dan semua makhluk lain di alam ini. Kenyataan ini membangkitkan dalam diri manusia perasaan solider, perasaan sepenanggungan dengan alam dan dengan sesama makhluk hidup lain.
Ketiga, prinsip rahmat terhadap alam. Apabila sudah tertanam prinsip ini pada setiap hati manusia, maka pastilah yang ada hanya rasa untuk mencintai, menyayangi, dan melestarikan alam semesta dan seluruh isinya, tanpa diskriminasi dan tanpa dominasi. Rahmat lil alamin dan kepedulian ini juga muncul dari kenyataan bahwa semua makhluk hidup mempunyai hak untuk dilindungi, dipelihara, tidak disakiti, dan dirawat.
Maasyiral muslimin Rahimakumullah
Kita ketahui, ada beberapa manusia yang membuat kerusakan di muka bumi ini. Mereka melanggar peraturan atau pun ketetapan yang telah Allah gariskan. Mereka suka membuat kerusakan dan melanggar hukum. Suatu pelanggaran hukum atau perbuatan merusak di muka bumi ini tidak akan terjadi kecuali pada sasaran yang bisa dijangkau oleh tangan manusia.
Yang tidak terjangkau akan berjalan serasi dan seimbang, tidak pernah rusak, terganggu atau terlambat. Matahari, bulan, bumi atau seluruh planet misalnya, semua berjalan dengan tetap dan mantap. Karena yang mengatur bukan manusia tetapi Allah swt.
Al-Qur’an menyebutkan, sejumlah kaum dan tokoh yang melakukan perbuatan destruktif atau kezaliman di muka bumi. Seperti kaum Tsamud, Yakjuj dan Makjuj, Fir'aun, Qarun, dan sederetan nama dan kaum lainnya. Mereka diabadikan dalam Alquran sebagai pelaku atau agen kerusakan, al Mufsiduuna fil Ardh. Atau, dengan bahasa lain, az Zhalimun (orang-orang yang berbuat zalim).
Secara umum dan spesifik, Al-Qur’an juga menerangkan diversitas atau bentuk-bentuk kerusakan yang terjadi di atas bumi. Misalnya, pertama, merampas atau mencuri harta milik orang lain, baik pribadi maupun milik umum.
قَالُوا تَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتُمْ مَا جِئْنَا لِنُفْسِدَ فِي الْأَرْضِ وَمَا كُنَّا سَارِقِينَ
Artinya: “Saudara-saudara Yusuf menjawab "Demi Allah sesungguhnya kamu mengetahui bahwa kami datang bukan untuk membuat kerusakan di negeri (ini) dan kami bukanlah para pencuri". (QS Yusuf [12]: 73).
Kedua, menghalang-halangi manusia menuju jalan yang diridhai Allah:
وَلَا تَقْعُدُوا بِكُلِّ صِرَاطٍ تُوعِدُونَ وَتَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِهِ وَتَبْغُونَهَا عِوَجًا ۚ وَاذْكُرُوا إِذْ كُنْتُمْ قَلِيلًا فَكَثَّرَكُمْ ۖ وَانْظُرُوا
Artinya: “Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. Dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. Dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS al-'Araf [7]:86).
Ketiga, menuruti hawa nafsu duniawi dengan gejalanya, seperti cinta dunia dan takut mati, budaya meterialistis, hedonis, tamak, dan sejenisnya:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ ۚ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
Artinya: “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS al-Mukminun [23]: 71).
Keempat, kepongahan dan kesewenang-wenangan dengan segala indikatornya, seperti merancang konflik, penindasan, dan pembunuhan secara biadab: