sosok-selebriti

Stunting Ancaman Indonesia Emas 2045, Daerah Menjadi Faktor Penentu (bag.Pertama)

Rabu, 5 Oktober 2022 | 11:16 WIB
Dr Hasanuddin Atjo. (foto: dok pribadi)

Oleh: Hasanuddin Atjo

TAHUN 2045, merupakan usia emas Indonesia tercinta, setelah merdeka 100 tahun silam. Sejumlah target pembangunan maupun strateginya telah ditetapkan, diantaranya PDB, Produk Donestik Bruto mencapai angka $ US 5 triliun dolar dari $ US 1,2 Triliun dolar di tahun 2021.

Pendapatan per kapita pada usia emas diperkirakan mencapai $ US 23.584 dolar meningkat dari $ US 4.200 dolar di tahun 2021. Target ini tentunya memerlukan peta jalan atau roadmap menuju ke arah itu bagi negeri yang bergelar maritim dan kepulauan serta memiliki garis pantai terpanjang kedua dunia.

Ketersediaan SDM menjadi salah satu pilar keberhasilan dari target Indonesia Emas. Ditinjau dari sisi kuantitas, tentunya tidak bersoal, karena jumlah penduduk Indonesia di 2021 sekitar 275,36 juta jiwa dan 2045 mencapai 318,96 juta jiwa, dengan usia produktif (15-64 th ) mencapai 207,99 juta jiwa (BPS 2022), dan ini yang disebut bonus demografi.

Namun dari kualitas, inilah yang masih bersoal. Berdasarkan data workdpopulationreview. com, tahun 2022 menunjukkan bahwa rata - rata IQ, Intelectual Question atau Kecerdasan Intelektual penduduk Indonesia sekitar 78,49, terendah kedua di Asia Tenggara, setelah Timor Leste (peringkat ke 10 dari 11 negara). Ini memprihatinkan.

Singapura berada di peringkat satu dengan nilai IQ 106,89, disusul oleh Kamboja 99,75, Myanmar 91,18 dan Vietnam 89,53. Selanjutnya IQ Thailand berada di urutan ke lima dengan nilai 88,87, Malaysia 87,58, Brunei Darusalam 87,58, Philipina 81,64 dan Laos berada di urutan 9 dengan nilai 80,99.

Kecukupan asupan gizi, sanitasi lingkungan pralahir dan pascalahir (1.000 hari pertama kehidupan) jadi kritikal point bagi pembentukan IQ generasi selain genetik. Karena itu, gizi Ibu hamil dan anak balita harus tercukupkan dan dibesarkan dalam lingkungan dengan sanitasi layak bagi standar sehat.

Kekurangan gizi dan sanitasi yang buruk bagi Ibu hamil maupun anak balita menjadi penyebab tingginya angka stunting di Indonesia. Dan ini terdistribusi dengan nilai pravelensi berbeda satu wilayah dengan yang lain. Semakin ke Timur cenderung angka stunting makin tinggi dan ini berbanding lurus dengan angka kemiskinan dan pengangguran.

Berdasarkan Dkatadata (2020) bahwa Pravelensi angka stunting Indonesia di Asia Tenggara berada di peringkat ke 2 (31,8 %) diatas Timur Leste (48,8 %). Peringkat ke 3 Laos ( 30,2 %) disusul Kamboja (29,9 %), Filipina (28,7 %), serta Myanmar (25,2 %).

Selanjutnya Vietnam di peringkat ke 7 dengan prevalensi 22,3 % dan Malaysia di peringkat 8 (20,9 %).

Hanya tiga negara dibawah angka standar WHO, yaitu Singapura (2,8 %), Thailand (12,3 %) dan Brunei Darussalam ( 12,7 %).

Pendapatan perkapita yang lebih baik, jumlah penduduk lebih sedikit sehingga mudah dikelola, tingginya kesadaran pentingnya kecukupan asupan gizi maupun sanitasi serta intervensi dari pemerintah menjadi sebab angka stunting tiga negara tersebut dapat ditekan.

Karena dipandang strategis, maka
dalam RPJMN 2020 - 2024 telah ditetapkan target penurunan angka stunting nasional menjadi 14 % di akhir 2024 dari 31,8 % tahun 2019. Dan dalam kurun waktu dua tahun, upaya penurunan angka stunting menunjukkan trend positif, memberi harapan nantinya mampu dibawah standar WHO.

Di tahun 2020 angka stunting turun menjadi 27,7 % dan di tahun 2021 turun lagi menjadi 24,4 %, setara 23,31 juta anak balita. Dan jumlah sebesar ini akan jadi beban negara di 2045, karena masuk dalam usia produktif, namun kurang memiliki daya saing. Dan hal inilah disinyalir bisa menjadi ancaman.

Penurunan stunting yang dicapai di Indonesia masih berada di atas standar WHO, yaitu sebesar 20 % yang setiap tahun juga mengalami penurunan standar. Dan untuk itu diperlukan kerja keras di daerah (kabupaten/kota), didorong dan difasilitasi sinergi Pemerintah pusat dan Provinsi.

Halaman:

Tags

Terkini