Oleh : Dr Hasanuddin Atjo
INDONESIA tahun 2021 berpenduduk sekitar 275 juta jiwa dan mendapat bonus demografi (usia produktif paling tinggi) antara tahun 2028 dan 2030. Bonus SDM ini tentunya harus dipersiapkan dan kemudian dimanfaatkan bagi pembangunan dan kemajuan bangsa .
Stunting merupakan pertumbuhan badan anak balita abnormal akibat minim asupan gizi maupun sanitasi lingkungan. Ini menjadi salah satu persoalan mendasar di negeri yang berpenduduk peringkat ke empat dunia ini.
Angka stunting tinggi berdasarkan hasil survei antara lain berdampak terhadap rendahnya kecerdasan intelektual, IQ dan rentan terhadap penyakit yang bermuara terhadap daya saing SDM sebuah wilayah atau Negara.
Secara nasional angka stunting di tahun 2021 sebesar 24,4 persen diatas standar WHO, sebesar 20 persen. Prestasi ini menempatkan negeri ini berada di posisi ke 10 di Asean serta ke 5 di Dunia. Bahkan jauh dibawah Vietnam, Kamboja, Laos dan Myanmar.
Miris melihat realita bahwa angka IQ bangsa ini di tahun 2019 rata-rata hanya 78,49, terendah di Asia Tenggara bersama Timor Leste. Vietnam di tahun yang sama nilai IQ bangsanya sekitar 89,53 dan stuntingnya 22,3 persen, padahal negeri ini baru merdeka pada tahun 1975.
Sementara itu, Indonesia di tahun yang sama, pravelensi stuntingnya sebesar 31,2 persen, dan merdeka sejak 2045. Karena itu wajar kalau Pemerintahan Presiden RI, Jokowi menjadikan stunting sebagai salah satu progran yang diberi perhatian dan super prioritas.
Berdasarkan SSGI Studi Status Gizi Indonesia , maka stunting terbagi atas empat kategori yaitu warna. Merah mengindikasikan tingkat pravelensi lebih besar 30 persen; Kuning, 20 - 30 persen; Hijau, 10 - 20 persen dan; Biru kurang dari 10 persen.
Sulawesi Tengah, merupakan salah satu Provinsi kategori kuning nyaris merah dengan angka preavelensi tahun 2021 sebesar 29,70 persen dan turun hanya 1,56 persen dari tahun 2019, sebesar 31,26 persen. Ini bermakna laju penurunan hanya sebesar 0,78 persen per tahun.
Masih ada kabupaten di Sulteng di tahun 2021 dengan status merah antara lain kabupaten Sigi (40,7 persen), dan Parigi Moutong ( 31,7 persen), serta Banggai Kepulauan (30,6 persen). Selebihnya kategori kuning dengan prevalensi terendah di kota Palu ( 23,9 persen).
Secara nasional berdasar RPJMN target penurunan stunting di akhir tahun 2024 menjadi 14 persen dari posisi 31,80 persen di tahun 2019. Dan ini membutuhkan upaya yang tinggi, karena turun sebesar 17,8 persen, atau laju penurunan setiap tahun sekitar 3,5 persen.
Sementara itu, Sulawesi Tengah di akhir tahun 2026 memasang target pravelensi angka stunting menjadi 11 persen, atau turun sebesar 18,70 persen atau laju penurunan setiap tahunnya sekitar 3,75 persen.
Laju penurunan stunting nasional dari tahun 2019 ke 2021 sekitar 7,4 persen yaitu dari 31,8 persen ke 24,4 persen atau 3,7 persen/tahun. Sementara itu Sulteng pada priode yang sana hanya turun 1,56 persen dari 31,26 persen di 2019 menjadi 29,70 persen di 2021 atau sebesar 0,78 persen.
Melihat prestasi penurunan angka stunting Nasional, maka target di akhir 2024 menjadi 14 persen optimis bisa dicapai. Senentara itu Sulawesi Tengah harus bekerja dan berupaya lebih keras lagi, karena laju penurunan stunting hanya 0,76 persen per tahun .
Artikel ini akan dilanjutkan pada kesempatan lain dengan substabsi bagaimana skenario yang fokus, kaloboratif, serta implementatif dalam menurunkan angka stunting di Sulawesi Tengah sesuai target yang ditetapkan. SEMOGA! ***