sosial-budaya

Tokoh Muda "Petir" Kriktik Pemda dan Legislatif Morut Terkait Lahan APL

Rabu, 14 Juni 2023 | 18:14 WIB
Syafiuddin, (foto metrosulteng)

METRO SULTENG - Tokoh muda Kecamatan Petasia Timur (Petir), Kabupaten Morowali Utara, kecewa dan mengkritik Pemerintah Daerah Morowali Utara (Morut) dan Legislatif, terkait dugaan tidak adanya keberpihakan kepada masyarakat atas status lahan APL, yang didalamnya terdapat lahan masyarakat yang dinaikkan statusnya jadi kawasan atas hadirnya sejumlah perusahaan tambang di Kecamatan Petasia Timur.

Baca Juga: Dear Masyarakat Palu dan Sekitarnya, Posko Pengaduan bagi Korban Buaya Telah Dibuka

"Kami kecewa ketidak berpihakan Pemda dan Legislatif atas lahan warga yang dahulunya adalah status APL, yang sebagian besar statusnya di tingkatkan jadi lahan kawasan akibat hadirnya sejumlah perusahaan tambang," tandas Syafiuddin dikediamannya, Rabu (14/6) siang.

Putra daerah Morowali Utara ini, mengatakan, jauh sebelumnya status lahan di wilayah Petasia Timur memang berstatus lahan APL sejak tahun 1999, namun pada tahun 2013, status APL naik jadi kawasan akibat diduga atas hadirnya perusahaan tambang.

Baca Juga: Gubernur Sulteng Batal Live Inspirasi Pagi TV One untuk Promosikan Sulteng Negeri Seribu Megalit

"Bahkan lahan milik warga didalam lahan APL di Desa Molino, Towara dan Desa Bungintimbe miliki SHM (sertifikat), anehnya tiba-tiba masuk kedalam lahan kawasan," kesal Syafiuddin.

Tak hanya itu, gejolak tambang lahan nikel yang mencuat selama ini, ia menilai Keberpihakan Pemda dan DPRD kepada Masyarakat dianggap tidak ada, sehingga masyarakat yang miliki lahan didalam APL kadang harus melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang untuk mempertahankan haknya, meski begitu, keberpihakan kepada masyarakat terkesan terabaikan, padahal pemimpin daerah dan DPRD dipilih oleh Rakyat bukan dipilih oleh oligarki atau investor tambang.

Baca Juga: Koleksi Grand Seiko Elegance “Omiwatari” SBGY007, Jam Tangan Penghormatan kepada Divine Frozen Crossing Jepang

Seharusnya Pemda dan DPRD membuat Perda estimasi harga lahan masyarakat yang diduga diserobot perusahaan tambang, bukan cuma sekedar di iming-iming dengan tali asih, tanpa memberikan ganti rugi lahan warga yang ditengarai diserobot oleh perusahaan tambang.

Terkait para karyawan PT.GNI, bagi saya miris, kenapa tidak, "Dengan gaji yang pas-pasan, mana bayar kost sebulan dari harga Rp 1 juta sampai dengan Rp 1.5 juta perbulan membuat TKI yang bekerja di PT GNI terbebani dengan biaya hidup yang tinggi, karena tidak selaras dengan upah yang diterima dengan kebutuhan hidup.

"Seharusnya pihak perusahaan membangunkan mess atau perumahan agar beban hidup karyawan jadi ringan, belum lagi, datang dan pulang kerja menggunakan motor pribadi, yang seharus disiapkan Bus Karyawan untuk antar jemput, sehingga tidak menjadi ancaman kemacetan dijalan, seperti yang terjadi di Bahodopi pada saat pergantian ship," kuncinya.***

 

.

 

Tags

Terkini