sosial-budaya

Dipersimpangan Jalan Funuasingko, Pelajar Morowali Menyapa Luka Sumatra

Senin, 15 Desember 2025 | 22:19 WIB
Ditengah rintik hujan, dua pelajar SMKN 1 Bungku Tengah menggalang dana untuk korban bencana alam di Sumatra (One-Metrosulteng)

METROSULTENG — Lampu lalu lintas di perempatan Funuasingko berubah merah. Kendaraan melambat, deru mesin mereda. Di bawah rintik hujan yang jatuh tanpa jeda, lima sosok muda melangkah ke aspal basah—membawa kardus sederhana dan sepotong harapan.

Mereka bukan petugas lalu lintas. Bukan pula pengamen jalanan. Mereka adalah siswa-siswi SMKN 1 Bungku Tengah, yang sore itu memilih berdiri di persimpangan jalan, mengulurkan empati bagi korban bencana alam di Sumatra.

Baju yang melekat di tubuh  mulai basah. Pamflet bertuliskan Pray for Sumatra terangkat pelan, menyapa para pengendara yang terhenti. Setiap lampu merah menyala, langkah-langkah kecil itu kembali bergerak—menyusuri sisi jalan, mendekati jendela mobil dan sepeda motor, tanpa suara keras, tanpa paksaan.

Baca Juga: Hujan Masih Terus Turun, Akademisi Khawatir Pemulihan Pascabencana Sumatera Butuh Waktu Lama

Hujan tak menjadi alasan untuk berhenti. Wajah mereka basah, entah oleh rintik yang jatuh atau peluh yang mengalir. Tak tampak raut malu, apalagi lelah. Yang ada hanyalah ketulusan—ketulusan yang lahir dari rasa kemanusiaan, bukan dari keinginan dilihat atau dipuji.

Tak semua tangan terulur memberi. Ada yang hanya menoleh sekilas, lalu melaju ketika lampu kembali hijau. Namun senyum tetap terjaga. Tak ada kecewa yang singgah di wajah-wajah muda itu. Mereka seolah paham, bahwa niat baik tak selalu harus berbalas.

Di antara mereka berdiri Rahmawati, 17 tahun, siswi kelas XI. Suaranya lirih, kalimatnya sederhana, namun mengandung makna yang dalam.

“Kami kasian sama yang terkena bencana,” ucapnya pelan.

Baca Juga: Dari Morowali untuk Sumatra, Pelajar, Relawan, dan Insan Pers Bersatu Galang Dana

Tak ada istilah besar. Tak ada pidato panjang. Hanya empati yang jujur, keluar dari hati seorang remaja yang mungkin belum pernah melihat langsung Sumatra, namun mampu merasakan duka orang-orang yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan.

Rahmawati bukan satu-satunya. Ia adalah potret banyak pelajar Morowali hari itu—anak-anak muda yang memilih bergerak ketika melihat penderitaan orang lain. Di usia ketika sebagian remaja larut dalam layar gawai dan dunia sendiri, mereka justru berdiri di bawah hujan, di persimpangan jalan, menyatukan rasa demi sesama manusia.

Dari sudut kecil Morowali, di bawah langit yang basah, suara kepedulian itu mengalir jauh. Menembus jarak dan cuaca, menuju Sumatra—membawa pesan sederhana namun kuat: di tengah bencana, harapan masih hidup. Dan hari itu, harapan itu datang dari tangan-tangan muda yang tak tega melihat derita orang lain.(*)

Tags

Terkini