Lhoknga, Aceh:
“Perempuan petani kehilangan sumber kehidupan akibat hilangnya wilayah kelola hutan seluas 2.087,4 ha untuk proyek PLTB. Krisis air memburuk karena kerusakan hutan atas nama investasi.” (Rahmil Izzati, Ketua BEK SP Bungoeng Jeumpa Aceh).
Nusa Tenggara Timur:
“Pembangunan skala besar, seperti Geothermal dan pariwisata super premium, merampas ruang hidup perempuan dan mengeksploitasi alam.” (Linda Tagie, Ketua BEK SP Flobamoratas).
Kapuas, Kalimantan Tengah:
“Kapuas menjadi lokasi cetak sawah terluas 2025 seluas 57.731 ha tanpa informasi jelas kepada masyarakat. Proyek ini menghilangkan ruang pengetahuan perempuan dan menjadikan mereka buruh di tanahnya sendiri.” (Irene Natalia Lambung, Ketua BEK SP Mamut Menteng).
Konawe, Sulawesi Tenggara:
“Revisi Perda TKI tidak melibatkan perempuan. Perkebunan sawit yang merampas tanah memaksa perempuan bekerja ke luar negeri tanpa perlindungan, rentan menjadi korban perdagangan orang.” (Cristien, BEK SP Kendari).
Sabah, Malaysia – Sulawesi Selatan:
“Buruh migran menderita sejak puluhan tahun. Bekerja dalam tekanan, cemas, takut razia, ditangkap, ditahan, disiksa dalam rumah merah, menunggu deportasi tanpa kepastian.” (Suryani, Ketua BEK SP Anging Mammiri).
Solidaritas Perempuan menilai bahwa situasi berlapis yang dialami perempuan buruh hari ini adalah manifestasi dari kuasa patriarki dan politik ekonomi global. Deregulasi kebijakan patriarkis seperti UU Cipta Kerja menciptakan pemiskinan sistemik bagi rakyat, terutama perempuan.
Watak otokratis rezim Prabowo-Gibran tercermin dari penguatan militer di seluruh sektor strategis, memperparah ketimpangan kuasa, peminggiran peran, pemiskinan struktural, dan kekerasan terhadap perempuan buruh di Indonesia. (*)