“Itu adalah pekerjaan wajib bagi kami,” ujar Longki.
Bahkan, ia sempat menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah di Lolu, yang para gurunya adalah murid-murid langsung Guru Tua. "Saat itu, saya sendiri yang jadi kusir dokar untuk mengantar ibu saya," ujarnya.
Baca Juga: Garis Tegas Perjuangan Kami bagi Guru Habib Idrus bin Salim Al Djufrie, Sang Guru Tua
Apa yang disampaikan Longki adalah potongan kecil dari sejarah panjang Alkhairaat dan pengabdian Guru Tua yang melampaui batas zaman. Sebuah pengabdian yang tak menuntut pamrih, tak dibayar pujian, dan tak diguyur bantuan atau dukungan fasilitas apapun.
“Insyaallah,” tutup Longki, “apa yang sudah dilakukan Guru Tua diterima oleh Allah SWT, dan akan terus berguna bagi Abnaul Khairaat di Sulawesi Tengah dan masyarakat Indonesia pada umumnya,” ia mendoakan.
Jejak yang ditinggalkan Guru Tua barangkali tak banyak tercatat dalam buku sejarah formal. Tapi dalam ingatan saksi-saksi seperti Longki Djanggola, perjuangan itu abadi, meski hanya dimulai dari atas sebuah gerobak. (*)